MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Kamis, 21 Juli 2016

Matjam Djenis Djalan di Kota Makassar Djaman Doeloe

Gambar 1: De Bijenkorf (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)

Smartcitymakassar.com --Makassar- Den Haag 30 April 1909, Ratu Wilhelmina melahirkan putri yang diberi nama Juliana, lengkapnya Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau. Kelahiran putri mahkota tersebut disambut gembira di seantaro Kerajaan Belanda dan termasuk ke wilayah Nederlandsch-Indiƫ atau Hindia Belanda, suatu wilayah koloni Kerajaan Belanda yang diakui secara de jure dan de facto. Kepala negara Hindia Belanda adalah ratu atau raja Belanda dengan seorang Gubernur Jenderal sebagai perwakilannya yang berkuasa penuh.

Salah satu bentuk suka cita dan penghormatan atas Putri Juliana sesuai dengan kebiasaan di kalangan monarki Eropa, adalah dengan menyematkan nama keluarga kerajaan untuk menandakan suatu tempat atau lokasi, seperti nama jalan, nama bangunan, nama taman, dan sebagainya.

Di Kota Makassar sebagai bagian dari wilayah Nederlandsch-Indiƫ, berlaku juga kebiasaan tersebut, nama Putri Juliana diabadikan ke nama jalan yaitu Julianaweg, kini Jalan R.A. Kartini dan nama taman yaitu Juliana Park, kini berubah menjadi lokasi kantor RRI jalan Riburane.

Di Hindia Belanda, pada masa kolonial, pemerintah memberikan aturan-aturan tertentu mengenai penamaan jenis jalan dan ruang-ruang publik. Untuk jalan lebar di tengah jalur hijau diberi nama Boulevard.

Penamaan Laan dipakai untuk jalan penghubung antara jalan ramai. Misalnya Komedielaan, kini Jalan Kajaolalido, Justitielaan, kini Jalan Amannagappa, Gouverneurlaan kini jalan Balai Kota, dan Paviljoenlaan, kini Jalan Osman Jafar. Dinamakan Paviljoenlaan karena pada sudut jalan dengan Komedielaan terdapat bangunan berbentuk apartemen dua lantai yang dinamakan De Bijenkorf, yang artinya sarang lebah.

Jalan yang memiliki kegiatan bisnis dan perdagangan diberi nama Straat. Misalnya Passerstraat, kini Jalan Nusantara. Kini masih menjadi daerah perniagaan dan kawasan pelabuhan.


Gambar 2: Passerstraat (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)


Gambar 3: Passerstraat (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)
Selain itu ada Weg, nama jalan untuk daerah permukiman. Pemerintah melarang kawasan Weg dijadikan tempat perdagangan. Weg yang terkenal adalah Gowaweg, kini Jalan Ratulangi, Marosweg, kini jalan Gunung Bawakaraeng, Hospitaalweg, kini Jalan Jenderal Sudirman, dan Herenweg, kini Jalan Sultan Hasanuddin.

Herenweg dahulu merupakan kawasan permukiman elite di selatan kota Makassar. Di daerah ini, berjejer rumah besar dan megah yang dihuni oleh para ambtenaar, bangsawan pribumi, dan orang-orang kaya. Rumah-rumah milik orang kaya terdapat juga di sepanjang Herenweg yang membujur dari timur ke barat.

Deretan rumah di kawasan sana adalah rumah para pegawai gemeente, dan bangunan yang lebih besar itu untuk para ambtenaar.

Gambar 4: Herenweg (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)

Gambar 5: Hospitaalweg (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)
Untuk kawasan taman kota, pemerintah menamakannya Park, seperti Juliana Park. Kita bisa duduk-duduk di sana, setelah menyaksikan pertunjukan di Societeit de Harmonie yang berlokasi di depannya. Juga ada muziekkoepel di sudut taman. Muziekkoepel adalah bangunan untuk tempat bersantai di dalam taman yang biasanya dijadikan tempat menikmati pertunjukan musik yang dimainkan oleh kelompok kecil pemusik. oleh Kita bisa menyaksikan pertunjukan musik ringan di situ.

Gambar 6: Juliana Park (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)


Di sudut timur Koningsplein, sekarang lapangan Karebosi dahulu terdapat sebuah benteng kecil Belanda untuk melindungi kota dari bagian timur. Benteng tersebut bernama Fort Vredenburg. Namun sekarang benteng tersebut sudah tidak berbekas lagi dan di atasnya telah berdiri kantor bank BNI di jalan Jenderal Sudirman.

Gambar 7: Fort Vredenburg (Sumber Foto: Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda)
Pasca kemerdekaan, segala hal yang berbau kolonial Belanda diganti, begitu pula nama-nama jalan dan ruang publik, malah hampir sebagian besar bangunan peninggalan kolonial tersebut telah lenyap di Kota Makassar. * (Faizal A. Saud)