Foto by Linda Jusuf Ismail |
Smartcitymagazine.com. --Makassar- Saya harus menyibukkan diri, mengatasi perjalanan panjang
dengan pesawat Emirates menuju London. Dan
ternyata saya masih tetap harus sibuk, begitu tiba di Bandara Heathrow, pagi
hari, 1 Agustus 2015. Posisinya sebagai bandara tersibuk di dunia memang sangat
terasa seketika. Beragam manusia, dengan
bahasa, pakaian, dan tampilan berbeda, larut dengan kesibukannya
masing-masing. Seorang ahli dari London School of Economics and Political
Science menyebutkan bahwa London adalah ibukota budaya dunia. Itulah gambaran yang seketika saya rekam.
Kesibukan saya dan keponakan saya, Aura, perlahan mereda
setelah berhasil menemukan flat tempat tinggal selama berada di London. Kami
memenuhi hari pertama dengan kesibukan mencatat semua kegiatan penting selama
di sana. Sebelum tidur, catatan tersebut ditengok kembali. Rampung. Hingga 13 Agustus nanti kesibukan akan
terkonsentrasi pada kegiatan ponakan saya, Aura, mengikuti kursus. Kami bersiap mengikuti ritme kesibukan
London. Kesiapan yang membawa kami
menutup malam pertama yang durasinya pendek.
“Here
we are, London”. Kami akan sibuk, dan
akan menikmatinya. Semangat pembuka di
hari kedua. Kami bertemu Kak Winny yang
telah lama menetap di Inggris dan juga tante dari Aura. Pertemuan penguat semangat. Bartlett School of Architecture di Hampsted Road, College tempat kursus
Aura kami kunjungi. Dengan jalan kaki
arah utara dari flat kami, waktu sekitar 15 menit tidak terasa. Begitupula pulangnya, tidak terasa. Saya menikmati suasana sepanjang jalan.
Flat kami, IQ
Bloomsburry Streets, berada di Euston Road. Wilayah yang sibuk. Gambaran sekelilingnya adalah “warna” kuat
akan denyut kegiatan ekonomi kota. Tidak
jauh dari IQ Bloomsburry terletak
terminal Euston Square, padat manusia, dan melayani salah satu rute terpadat di
London. Berjalan kaki mengarah timur,
terdapat ruang publik hijau yang nyaman.
Ruang hijau menemani sejumlah bangunan kantor menjulang tinggi, serta beberapa
restaurant. Ada juga beberapa pusat perbelanjaan. Tepat di depan flat kami, menyeberangi Euston Road, berdiri Welcome Library. Tampaknya wilayah ini memiliki dan
sekaligus mencadangkan energi yang besar dan tahan lama untuk membangun
dirinya. Hasil pembangunan yang
diterjemahkan dalam beragam warna. Warna
yang tidak hanya untuk warganya secara ekslusif, tapi juga kepada para pendatang.
Kota London saling membagi pengalamannya, kemajuannya, kepada siapapun.
Sejumlah warna cukup menonjol di antara warna lainnya. Merah adalah warna yang paling cepat saya
tangkap. Telepon-telepon umum atau phone
booth, bus-bus umum, hingga layout dari
stasiun televisi BBC London, berwarna merah.
Begitupula dengan rambu-rambu tube
serta platform; baik itu nama dari
sebuah halte, dan platform-nya, ataupun diagram rute sebuah tube. Warna merah menjadi
kekuatannya. Tube adalah istilah bagi trem dan platform adalah sebutan untuk stasiun
kereta. Namun warna biru benhur pun membentuk keseragaman. Kami dapat kesan tersebut ketika memperhatikan
warna kemeja para pria ataupun pakaian perempuan yang tumpah-ruah di jalan
ataupun antri di platform. Nuansa lain, warna lain, tampil ketika
menengok ke kendaraan di jalan-jalan. Taksi
hitam London atau black cabs
mendampingi nuansa merah dan biru benhur. Black
cabs adalah salah satu ikon kota London.
Sepertinya, London menciptakan langgamnya yang unik dan kuat.
Foto by Linda Jusuf Ismail |
Bukan hanya warna di atas, yang membangun magnet kuat daya
tarik kota London, dan menarik saya untuk menyelami kotanya lebih dalam,
mengalami suasananya lebih dekat. Ternyata,
kota ini memiliki “warna” lain yang sama menariknya. “Warna” yang membentuk dan menopang budaya
warga London. Budaya ataupun semangat
menolong kepada siapapun. Begitulah yang
kami alami selagi menunggu di platform dan
berada di dalam tube. Londoner, sebutan bagi penduduk London,
tidak segan membantu orang yang kesulitan, misalnya, dengan barang bawaan yang
berat. Wanita, orang tua apakah sendiri
atau bersama anak-anaknya, ataupun penyandang disabilitas, menjadi prioritas. Dengan
keramahan, mereka sudi membantu. Tube tidak akan berangkat jika ada
penumpang sakit dan tidak dirawat tuntas.
Begitulah pengumuman atau notice tertera
dalam tube.
Walau London sangat beragam, mereka mampu menggerakkan,
menjalankan, dan menjadikan kotanya hidup. Penduduknya sangat antusias dan
bersemangat untuk memperkaya kotanya agar menjadi hidup dengan dinamis dan kaya
warna. Individu adalah hal penting. Tiap individu saling menjaga dan menghormati
satu sama lain. Namun demikian, mereka
siap mengulurkan tangan, baik ketika diminta ataupun selagi melihat seseorang
tampak butuh bantuan.
London sebagai kota
global dunia adalah layak dan tepat. Saya
melihat dan mengalami, dua penopang penting kota saling mendukung; lingkungan
dan orang. Orangnya membangun sekaligus
menjaga lingkungan. Dari lingkungan ini diambil
karakter “warna” tertentu. Kota tampak beragam. Sebaliknya lingkungan menebarkan kenyamanan
dan kenikmatan. Kualitas-kualitas hidup dihadirkan
dari budaya orangnya. Interaksi antara
orang dan lingkungan menjadi hidup. Hal
inilah yang kami rasakan ketika kursus Aura rampung 13 Agustus. Kami mengalami suasana yang sangat “hidup”
ketika tiba di Wembley Stadium, Stamford Bridge markas FC Chelsea, Emirates
Stadium. London adalah contoh bagaimana keberagaman
digunakan sebagai potensi membangun kotanya.
Dari keberagaman dimunculkan sejumlah “warna”. “Warna” adalah keseragaman. Karena keunikan masing-masing “warna” ini, ada
langgam hadir. Langgam seragam berasal
dari keberagaman. Itulah London yang
saya alami.* (Linda Jusuf Ismail)