MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Sabtu, 29 Juli 2017

Kehadiran Mafia Beras Bikin Pelaku Usaha Penggilingan Padi dan Beras Terancam Gulung Tikar

Foto: Ilustrasi  

smartcitymakassar.com - Surabaya - Permainan para mafia beras membuat para pelaku usaha penggilingan padi dan beras turut merugi. Mereka tak bisa melakukan produksi normal karena kalah bersaing harga dengan para mafia yang didukung modal besar. Keluhan ini disampaikan para pelaku usaha penggilingan padi dan beras yang tergabung dalam Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (PERPADI) Jatim. Keberanian mafia untuk membeli gabah basah dari petani dengan harga tinggi membuat anggota PERPADI Jatim kelimpungan.

Menurut Hendra Tan, Ketua harian PERPADI Jatim, Jumat (28/7/2017) lalu, saat ini ada sebanyak 27 ribu pelaku usaha penggilingan padi dan beras yang menjadi anggota asosiasi. Dari jumlah itu 90 persen diantaranya berkategori usaha kecil menjalankan usaha penggilingan bergerak dengan unit kecil. Sedangkan yang menjalankan usaha penggilingan dengan menetap di satu tempat sebanyak 10 ribu usaha.

Hanya, sejak sekitar empat tahun silam sejak maraknya praktek mafia beras, produksi usaha penggilingan anggota PERPADI Jatim ini merosot tajam hingga 30 persen. Pasalnya mereka tak kuasa menghadapi keberanian permainan harga para mafia untuk membeli gabah basah dari para petani.

"Kami sedih melihat banyak anggota kami tak bisa berproduksi. Karena anggota kami  tak bisa membeli harga gabah di tingkat petani yang sudah terlanjur mahal. Kalau dipaksa membeli dengan harga tinggi, akibatnya harga beras yang kami hasilkan juga mahal dan tak terbeli. Kalau ini dibiarkan tata niaga beras menjadi kacau," kata Hendra Tan, didampingi Samsul Arifin wakil ketua PERPADI Jatim dan beberapa pengurus harian lainnya.

Hendra Tan mengaku anggotanya tak bisa menuruti permainan harga gabah di tingkat petani yang terus melambung. Sebab kalau dituruti ini akan membuat harga akan sangat mahal sampai di konsumen. Selain akan merugikan masyarakat konsumen, tingginya harga gabah petani ini juga mengakibatkan Bulog tak bisa menyerap semua hasil panen dari petani. Tahun lalu saja Bulog hanya bisa menyerap hasil panen padi sekitar 7 persen.

"Kalau dipaksakan dengan membeli harga gabah di luar harga normal, jelas kami dari usaha kecil dan menengah tak mampu mengikuti. Kami tak bisa bersaing dengan para mafia. Karenanya kami mendukung penuh satgas pangan dan Kemendag soal penertiban permainan mafia beras ini," kata Hendra yang juga memproduksi beras kemasan merk Kota dan Sumo ini.

PERPADI Jatim sendiri dalam setahun mampu memproduksi beras hasil gilingan sebanyak 13 juta ton. Hasil tersebut terserap tak hanya untuk Jatim saja tetapi juga daerah lainnya di luar propinsi termasuk Bali dan Indonesia Timur lainnya."Itu dulu sebelum kehadiran mafia beras. Sekarang merosot tajam. Kasihan sekitar 200 ribu tenaga kerja penggilingan kami terancam tak bekerja kalau sampai produksi mandeg," ujar Hendra.


Karenanya agar tata niaga beras kembali normal, selain berharap proses hukum ditegakkan untuk memeberantas mafia beras, PERPADI Jatim mengeluarkan enam pernyataan sikap. Berkomitmen membantu stabilitas pangan, menginginkan perlindungan hukum untuk pelaku usaha kecil bidang pangan, menjadi patner pemerintah dalam kebijakan pangan dan PERPADI Jatim menyatakan sebagai asosiasi yang independen dan bebas dari kepentingan politik. *(Fatahillah Mansur)