MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Kamis, 18 Januari 2018

Dinilai Diskreditkan Kaum Difabel, Ini Penjelasan KPU Sulsel


Foto: Ilustrasi  

smartcitymakassar.com - Makassar - Komisioner KPU Sulawesi Selatan, Misna Attas mengklarifikasi statemennya yang dianggap mendiskreditkan penyandang disabilitas atau difabel dengan menyebut "disabilitas medik" di sejumlah media.

Pernyataan itu dikeluarkan Misna usai pemeriksaan kesehatan bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur Sulawesi Selatan pada Sabtu 13 Januari 2018, di Private Care Centre (PCC) RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar.

“Kalau ada kandidat yang mengalami disabilitas medik dan menurut kesimpulan tim pemeriksaan kesehatan tidak memenuhi persyaratan maka itu bisa dilakukan pergantian,”, katanya.

Pada kalimat lain, Misna menguatkan statemennya dengan kalimat: “Berpatokan pada aturan pemilihan, bila ada pasangan calon yang diketahui disabilitas (cacat medis), maka bersangkutan bisa dikategorikan tidak memenuhi syarat,” kata Misna yang dikutip dari sejumlah media online di Makassar. 

Pernyataan Misna ini, sontak mendapat respon dari beberapa organisasi perwakilan difabel di Makassar. 

Akhirnya pada Senin 15 Januari 2018, pengurus Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulsel dan Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Sulsel mendatangi kantor KPU Sulsel, Jalan AP Pettarani untuk meminta klarifikasi atas pernyataan tersebut.

Dalam pertemuan itu, Misna mengatakan apa yang ia sampaikan tersebut berdasarkan petunjuk teknis (Juknis) dari KPU pusat yang dikeluarkan pada Desember 2017. 

"Yang saya katakan itu berdasarkan Juknis KPU nomor 231 tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis standar kemampuan jasmani dan rohani serta standar pemeriksaan kesehatan jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dalam Pilgub/Pilbup/Pilwali ," tegas Misna dalam keterangan resminya.

Misna melanjutkan, dalam perumusan peraturan tersebut, KPU RI bekerja sama dengan ikatan dokter indonesia (IDI), Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan badan narkotika nasional (BNN) untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap para bakal calon kepala daerah sebelum dinyatakan resmi sebagai calon. 

"Saya juga baru menyadari bahwa ada yang salah dengan aturan ini ketika ada awak media yang menanyakan tentang apa itu disabilitas medik," jelas Misna. 

Karena itu dirinya berjanji akan  mengkonfirmasi Juknis tersebut ke KPU Pusat tentang aturan tersebut. Misna juga berjanji akan bekerjasama dengan organisasi disabilitas agar aturan tersebut bisa direvisi.

Sementara sekertaris PPDI Sulsel, Hamzah Yamin yang juga hadir di kantor KPU berterimakasih karena Misna telah menyampaikan aturan tersebut.

"Andai ibu Misna tidak menyampaikan ini, mungkin kami tidak tahu kalau ada aturan KPU (juknis) yang mendiskriminasi penyandang disabilitas", ungkap Hamzah, Rabu, (17/1/2018)

Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi, Ishak Salim menyatakan selain soal peristilahan 'Disabilitas Medik' tersebut, salah satu yang perlu diperhatikan dalam SK juknis KPU ini adalah soal konsep 'Kemampuan' yang digunakan KPU.

"Makna kalimat 'mampu Jasmani dan Rohani' ini seharusnya dilihat tidak bisa dari sekadar pendekatan medik saja, apalagi jika terkait dengan warga difabel", kata Ishak.

Ishak, yang juga merupakan kandidat doktor Ilmu Politik UGM mencontohkan, Difabel dengan beragam jenis kemampuannya memiliki alat-alat bantu yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Jika dia difabel netra, maka ia akan membutuhkan 'tongkat putih' untuk berjalan, magnifier untuk membaca teks, aplikasi pembaca layar pada HP atau laptopnya. 

Jika difabel kinetik, kata Ishak, maka ia membutuhkan tongkat, atau kursi roda, atau kruk maupun protese. Jika ia Tuli maka ia akan menngunakan alat bantu mendengar dan kemampuan berbahasa isyarat.

"Warga-warga difabel ini bersama dengan alat-alat bantu itu merupakan satu kesatuan dari identitasnya sebagai difabel dan membentuk 'kadar kemampuannya'. Dengan begitu, jika kita menyadari bahwa alat bantu tersebut menjadi bagian dari diri difabel, maka pemungsian kemampuan atau kapabilitas tadi harus berkesesuaian dengan kondisi di mana ia akan bekerja. kesesuaian titian, tangga maupun toilet dan ruang-ruang kerja dengan kemampuan seseorang yang bergerak menggunakan kursi roda." ungkap Ishak yang juga Ketua Pegerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) ini.

Demikian juga ketersediaan perangkat kerja akses bagi difabel netra baik terkait teknologi dijital (komputer) maupun informasi berbasis cetak braille maupun berbasis audio. "Hal ini yang disebut sebagai ketersediaan akomodasi yang layak di tempat-tempat kerja di mana difabel akan bekerja, semisal kantor gubernur, kantor bupati maupun kantor walikota. " lanjut Ishak. 

Terkait dengan tim pemeriksa. yakni dokter-dokter ahli dari IDI, masih menurut Ishak, jika dokter-dokter ini tidak memiliki sensitivitas atau kepekaan perspektif disabilitas maka ia tidak akan paham seberapa besar kadar kemampuan difabel itu.

"Kalau mereka menilai seseorang hanya pada aspek kondisi tubuh, intelektual, atau mental seseorang tanpa mengaitkannya dengan aspek desain sosial yang akan mendukung potensi kemampuan seseorang maka penilaiannya terhadap kemampuan jasmani seorang difabel akan tidak memadai." 

Sementara itu, dilansir dari blog pergerakan difabel indonesia untuk kesetaraan (PerDIK), juknis nomor 231 tahun 2017 yang mengatur sejumlah hal terkait aspek medik ada sejumlah kategori yang dianggap sebagai tidak sehat, seperti Gangguan Penglihatan (Buta), Gangguan Pendengaran (Tuli) maupun gangguan motorik (polio berkursi roda) dan gangguan jenis lainnya seperti terkait mental dan intelektual.

Dalam blog itu disebutkan bila aturan ini jelas berpotensi menghilangkan Hak Politik Difabel. Aturan ini berisi Panduan bagi institusi-institusi seperti IDI, HIMPSI, BNN yang akan menentukan seseorang apakah memenuhi kriteria Sehat Jasmani dan Rohani serta bebas Narkoba?. Ada kesimpulan dalam aturan ini, yakni, jika Tim Medis melihat ada salah satu unsur “disabilitas medik” dalam aturan ini (seperti buta, tuli, disabilitas intelektual, dan kategori lainnya) maka tim akan memutuskan: Jika bakal calon ditemukan salah satu disabilitas medik tersebut, maka yang bersangkutan dinyatakan pada saat ini ditemukan disabilitas-medik yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur dan Wakil gubernur/bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. (Fatahillah Mansur)