Foto: SmartCity Magazine & Online News and Information® (2016) |
Smartcitymakassar.com. --Makassar-
Atmosfir bulan suci Ramadhan memang kerap menggetarkan. Pada bulan suci umat muslim ini, hampir semuan sendi-sendi kehidupan masyarakat bergerak dalam resonansi religiusitas tersebut. Inilah bulan di mana hampir seluruh energi spiritualitas mampu ditransformasikan menjadi modal sosial (social capital) warga kota yang ‘berpijar’ dalam konektivitas antara dinamika spiritual, sosial maupun kultural.
Pukul 05.30 wita sore itu memang agak terasa lain. Aktifitas
warga kota Makassar seakan melaju dalam suasana yang lebih sejuk dan teduh. Di sebuah tepi jalan di pusat kota, sekelompok
kecil komunitas terlihat sibuk membagikan sekotak kecil yang di dalamnya berisi
penganan kue dan segelas air mineral pada pengendara motor dan mobil yang
kebetulan melalui jalan tersebut. Kotak kecil itu adalah menu ‘buka puasa’ yang
dibagikan secara gratis pada pelintas jalan oleh sebuah komunitas di kota ini. Tradisi memberi menu ‘buka puasa’ berupa
kue-kue kecil dan segelas air pada publik memang telah berlangsung cukup lama
dan sudah menjadi tradisi di setiap bulan Ramadhan.
Pada tempat lain, di
dalam Masjid Al Markas Al Islami kota
Makassar, suasana itu juga sangat terasa. Jelang Maghrib dan saat ‘berbuka’, terlihat beberapa panitia masjid sibuk
mengatur tatakan kecil berisi kue dan segelas teh hangat. Di letakkan berjejer
di lantai, menu ‘buka puasa’ ini memang disuguhkan untuk siapa pun yang sedang
melaksanakan ibadah puasa di tempat tersebut.
Pemandangan seperti itu bukan
hanya khas terjadi di masjid termegah di Kawasan Indonesia Timur (KTI) ini
saja. Bisa dikatakan, pada setiap bulan Ramadhan, hampir seluruh masjid di kota
Makassar, menyediakan menu ‘buka puasa’
bagi para jemaah yang datang untuk ‘berbuka puasa’ sambil melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di masjid tersebut.
Tak tahu pasti sejak kapan tradisi seperti ini mulai
terbentuk. Yang pasti bahwa dalam setiap bulan Ramadhan, atmosfir kebersamaan
serta semangat memberi dan
berbelas-kasih menjadi demikian kuat dan mempesona. Di jalan-jalan, di masjid, bahkan di permukiman warga, suasana itu
tergambar dengan warna yang cemerlang. Bagaimana tidak, hampir dikatakan bahwa
setiap hari di berbagai permukiman, ada saja warga kota yang mengadakan
kegiatan acara ‘buka puasa bersama’,
dengan mengundang tetangga, kolega bisnis, rekan kantor atau bersama fakir
miskin dan anak yatim untuk ‘berbuka puasa’ sekaligus bersilaturrahim. Semangat berbagi dan saling menyantuni ini memang
sangat mengemuka pada saat waktu menapaki bulan suci Ramadhan.
Dengan demikian, pada bulan ini dinamika warga kota seperti memiliki ‘energi’ kekariban dalam arti
yang paling positif. Kondisi seperti itu memang telah menjadi sebuah fenomena
sosial yang demikian menarik. Spiritualitas di bulan suci Ramadhan kemudian
tercermin jelas dalam berbagai aktifitas warga kota dan kemudian membentuk pola
perilaku yang bergerak dalam sinergisitas pada lini-lini kehidupan lain di
perkotaan.
Semangat berbagi serta memberi ini juga terlihat pada
dimensi lain seperti munculnya spirit
memberi sedekah. Bulan Ramadhan
memang senantiasa telah diidentikkan dengan semangat bersedekah atau berbagi rezeki kepada warga yang kurang beruntung.
Nilai-nilai dari spirit memberi yang
tertanam dalam ajaran dan amalan spiritualitas Islam kemudian teraktualisasi
secara fenomenal pada bulan ini. Semua aktifitas warga di bulan ini bisa
dikatakan berjalin-kelindan dalam
rangkaian yang demikian apik dan bergerak simultan.
Dengan demikian, bulan Ramadhan mampu menghadirkan suasana di mana pada bulan ini
udara seakan dipenuhi oleh aura energi
positif para warga kota serta telah menjadi sebuah rentan waktu yang selama
sebulan itu bergerak optimal keseluruh pojok-pojok kehidupan masyarakat kota
Makassar.
Agaknya, bulan suci Ramadhan memang memiliki getaran tersendiri
dalam membentuk suasana serta mengubah pola perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan terjalinnya konektivitas antara nilai-nilai spiritual dan pola hubungan
antara sesama manusia dalam gambarannya yang kongkret. Dengan demikian, fenomena
suasana di bulan suci umat muslim ini setidaknya bisa menggambarkan bahwa
nilai-nilai spiritualitas mampu menjadi modal sosial (social capital) yang sangat besar apabila mampu ditransformasikan
menjadi energi yang juga ada di luar bulan Ramadhan.
Membumikan semangat
Ramadhan di luar bulan Ramadhan bisa dijadikan sebagai model rujukan dalam
membangun pola interaksi warga, di mana
masyarakat mampu membentuk kekuatan sosial yang bergerak dalam internalisasi
nilai-nilai spiritualitas dalam dimensi kesehariannya. Potensi inilah yang
bisa digerakkan dan direaktualisasikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar dengan meletakkan
kebijakan-kebijakan kota pada kekuatan besar dari potensi modal sosial (silaturrahim) tersebut.* (Muh.
Yushar M)