MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Minggu, 22 Juli 2018

(Opini) Menyoal Partai Politik di Indonesia

foto: ilustrasi  


Oleh: Makmur Gazali  

- Demokrasi Mobilisasi

Fenomena partai politik mutakhir  di Indonesia memang cukup menarik untuk dibicarakan.  Sebagai organisasi politik dalam sebuah negara demokrasi, idealnya  keberadaan partai politik merupakan pilar yang demikian penting. Parpol dalam fungsinya yang paling mendasar  adalah organisasi yang melakukan kerja menjadi “jembatan” aspirasi rakyat, menjadi wadah menggodok calon pemimpin bangsa dan sekaligus melakukan aktifitas dengan orientasi pada kekuasaan.  Dengan kata lain, partai politik  memang berbasis kerja untuk “merebut” kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sejarah lahirnya partai politik senantiasa ditandai dengan hadirnya sebuah sistem pengelolaan pemerintahan berbasis modern. Ragam variasi sistem dalam suatu negara bisa saja berubah atau  berbeda, namun keberadaan suatu partai politik senantiasa dipertemukan pada fungsinya yang mendasar sebagai penyerap aspirasi. Seperti pada umumnya, keberadaan partai politik di Indonesia mulai berbenih sejak kesadaran akan nasionlisme juga mekar  dikalangan kaum terpelajar di Nusantara dulu.

Agaknya, bagaimanapun partai politik bisa mencerminkan pola dan struktur dari sistem dan budaya sebuah negara. Corak itupun mampu kita baca dalam bangunan keindonesiaan kita.  Dalam konteks sebagai sebuah  instrument  dari sistem perpolitikan kita, partai politik adalah sebuah “produk” organisasi yang benih asalnya kita “impor” dari dataran Eropa. Dengan demikian, mau-tidak mau keberadaannya di negeri ini mengalami semacam proses kontekstualisasi dengan menyesuaikan kultur serta tradisi panjang yang telah membumi di masyarakat negeri ini.

Sejak keberadaan partai politik “mekar” di bumi Indonesia, maka pada saat itulah, gelombang paham ideologi dunia pun menjejak di negeri kita. Pada umumnya paham ini dibawa oleh para intelektual muda yang pernah mengenyam pendidikan di Eropa. Kaum terpelajar ini jugalah yang kemudian memperkenalkan bentuk dan cara kerja sebuah organisasi modern kepada masyarakat. Di sinilah partai politik kemudian mengakar serta menempa rakyat dengan menanamkan kesadaran politik dan nilai-nilai kemerdekaan sebuah bangsa.

Tercatat dalam sejarah politik Indonesia, pasang surut eksistensi partai politik juga dengan kental mewarnai pasang surut sistem politik negara dan pemerintahan sebuah era atau rezim kekuasaan di negeri ini.  Bagaimana pun,  sebuah rezim kekuasaan, pada titik tertentu, menjadi  “pemasok” paling utama dalam menentukan arah serta bangunan sistem partai politik kita. Dikatakan demikian karena dalam sejarah partai politik kita di tanah air, masih saja berada pada tahap sebagai organisasi yang berciri mobilisasi.

Dengan sifat dan ciri mobilisasi yang ada pada partai-partai politik kita, maka setiap kekuasaan dengan sendirinya  menjadi demikian penting. Di era rezim Orde Lama, partai-partai politik lahir dengan basis ideologi yang kental. Poros ideologi ini kita kenal sebagai politik “aliran” yang berbasis nasionalisme, komunisme dan keagamaan. Pada kurun ini, kita masih mendapati partai-partai politik yang dibentuk dengan idealisme yang mencorong. Walaupun masih sangat kental dengan akar paternalistik, namun keberadaan partai politik diliputi oleh semangat “kaum pergerakan” yang intelektualitas dan integritasnya sangat tinggi. Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Amir Syarifuddin adalah sedikit nama dari tokoh-tokoh partai politik di awal kemerdekaan.

Di masa Orde Baru, partai-partai politik mengalami semacam involutif dan pendangkalan secara sistematis.  Kekuasaan Orde Baru membangun basis ideologisnya demikian pragmatis dan cenderung represif. Pendangkalan itu di mulai dengan munculnya gagasan “azas tunggal” serta adanya penyederhanaan jumlah partai. Sebenarnya gagasan penyederhanaan jumlah partai politik ini sebuah gagasan yang bagus bila itu dilakukan tidak dalam bentuk “tekanan dan paksaan”, tapi hadir sebagai wujud seleksi alamia dan kesadaran politik.

Namun yang terjadi adalah pengembosan secara sistematik terhadap keberadaan partai-partai politik di luar partai penguasa saat itu. Dengan demikian, arah kehidupan partai politik pada kurun itu menjadi demikin monoton. Partai politik kemudian hanya menjadi organisasi “pelengkap” dari terpenuhinya sistem kenegaraan kita. Ruang-ruang dealektika politik menjadi demikian kering dan tak bernuansa sama sekali. Dampak paling terasa adalah mulai terciptanya gap yang besar antara aspirasi rakyat dengan para elite politik penguasa.

- Politik Oligarki

Setelah era Orde Baru dan masuk ke zaman Reformasi, suasana yang berbeda akan kita rasakan dalam melhat sepak terjang partai politik kita. Kran kebebasan yang dilahirkan oleh gerakan reformasi membuka ruang yang demikian lapang bagi keberadaan partai-partai politik. Kekuasaan dalam arti luas  tidak lagi terpusat dalam lingkaran kecil elite penguasa (pemerintah), namun mulai tersebar  pada kelompok-kelompok elite partai di luar partai yang memerintah.

Fenomena ini pada galibnya sangat baik dalam sebuah sistem demokrasi  karena telah bergerak ke arah keseimbangan “bandul” politik  dalam  proses check and balance. Namun rupanya fenomena itu bisa dikatakan hanya sebentuk “kamuflase” yang kerap menipu pemahaman politik kita tentang demokrasi. Pada titik tertentu,  kran kebebasan partai politik ini hanya semakin mengerucutkan kelompok elite politik  menjadi semacam  kelas strata tersendiri yang demikian berjarak dengan rakyat.  Partai-partai politik kemudian terlihat sangat bercorak oligarkis dan dikelola selayaknya sebuah perusahaan perseroan  dengan kepemilikan  orang-orang tertentu.

Dengan model seperti itu, bisa kita tebak bagaimana kualitas partai politik kita saat ini bila dikaitkan dengan tujuan berdirinya sebuah partai dalam arti subtansinya.  Dengan kata lain, “jenis kelamin” partai-partai politik kita tidak lagi mampu diidentifikasi berdasarkan basis ideologi ataupun prinsip-prinsip perjuangan politiknya. Yang kita saksikan saat ini adalah partai-partai politik yang bentuk dan isi keberadaannya sangat didominasi oleh gairah kekuasaan yang hanya untuk kekuasaan pribadi atau kelompok semata. Partai politik yang bercorak sangat oligarkis itu menjadikan organisasi politik kita menjadi wadah kepentingan dan kekuasaan sekelompok pemiliknya dan demikian bersifat artifisial.

Lalu bagaimana dengan rakyat yang sejatinya menjadi pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi? Pertanyaan ini sedikit banyak pernah terjawab dalam konteks pemilihan legeslatif dan pemilihan presiden 2014 lalu. Kata kuncinya adalah gerak partisipatif dan kesadaran politik rakyat yang bertranformasi menjadi kesadaran  politik  warga negara. Pada pemilihan presiden lalu, politik partisipatif itu demikian menggetarkan. Bahkan beberapa ahli politik mengatakan bahwa fenomena partisipasi politik ini hanya bisa kita bandingkan dengan peristiwa pemilihan umum tahun 1955 dulu di negeri ini yang juga disebut sebagai pemilu yang paling demokratis.

Namun, seperti yang selalu berulang dalam khazanah peristiwa politik di Indonesia, gerak partisipasi itu belum sepenuhnya berangkat dari sebuah kesadaran politik warga negara. Karena bagimanapun, peristiwa ini kemudian hanya menjadi semacam “icon” demokrasi semata tanpa mampu merombak” isi dalam” dari sistem politik kita yang sumber penyakitnya ada pada partai politik. Maka setelah pemilhan tersebut, yang kita saksikan lagi adalah pertarungan kekuasaan elite politik partai  yang saling memperebutkan kekuasaan serta pertarungan internal elite politik dibeberapa partai yang semuanya hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok oligarkisnya.

Inilah yang menjadi tantangan terberat dari arah politik kemaslahatan di negeri kita. Selama partai politik masih bercorak oligarkis seperti ini dan selama rakyat belum sepenuhnya memiliki kesadaran politik warga negara, maka yang terjadi adalah pengulangan peristiwa di mana kita sekali waktu disuguhi harapan besar, namun kemudian perlahan-lahan akan layu kembali oleh sepak terjang para politisi kita di partai-partai politik.* (penulis adalah jurnalis)