Marienplatz, Munich, Germany (Photo by Google Map) |
Smartcitymakassar.com. --Makassar- Apakah Anda memiliki pengalaman
mendapatkan tempat parkir kendaraan dengan begitu mudah, tidak butuh lama untuk
menemukannya? Lalu, anda menyusuri taman
kota atau ruang publik dengan begitu menyenangkan? Menikmati penyusuran ini bersama keluarga,
bertemu kerabat apakah di taman atau di ruang terbuka, menikmati suasananya dan
lingkungannya? Tapi dilakukan sambil berjalan kaki? Jika anda pernah
mengalaminya, apakah itu sekali waktu ataupun lebih, maka kota anda memiliki
daya tarik kuat. Kotanya mengundang
bakal lebih banyak orang. Tidak hanya
warga lokal tapi juga dari luar kota.
Bahkan menjadi undangan menarik bagi wisatawan luar negeri. Dalam keadaan ini, kota anda bakal
dibicarakan dalam skala dunia. Kota
dunia.
Frommer’s, salah satu usaha jasa perjalanan wisata
terpadu, memberikan tips atau kiat
bagi yang hendak menikmati kehidupan kota Munich. Nikmati Munich dengan berjalan kaki. Misalnya, susurilah kota Munich di siang
hari di English Garden, kawasan taman
publik yang luas di pusat kota menuju timur laut, sebelum singgah meneguk segelas bir di Chinesischer
Turm atau Chinese Tower. Bagi yang berniat membawa cenderamata, window shops, disarankan melintasi Kaufinger Strasse melewati tempat yang
terkenal, Marienplatz, ‘jantung’ kota
dan pusat bagi wisatawan luar dan lokal.
Dari Marienplatz lalu
diteruskan berjalan menuju Maximilian Straße,
tempat khusus gerai desainer. Arsitektur yang hebat dan mengagumkan, taman
yang sangat luas, serta sejumlah tempat menarik untuk berbelanja adalah
gambaran pusat kota Munich.
Memang pusat
kota Munich banyak memiliki lokasi yang sangat ramah bagi pejalan kaki (very pedestrians-friendly). Pemanfaatan lahannya tertata baik yang
berlokasi saling berdekatan satu sama lain.
Hal ini menciptakan pengalaman aktif bagi para pejalan kaki. Hampir di setiap jalan berjajar toko, café,
museum dan bar; lokasi yang memberikan banyak pilihan untuk berbelanja, makan
dan menikmati budaya Munich. Begitu juga
disarankan ketika mengunjungi kota Florence di Italia, Paris, Amsterdam, dan
Dubrovnik di Kroasia. Menurut majalah
versi online Time, jika Anda berada
atau menetap pada salah satu kota di Washington D. C., New York City atau
Boston, maka moda transportasi utamanya adalah kaki. Ketiga memang urutan tiga teratas dalam kategori
kota bagi para pejalan kaki.
Para pejalan
kaki menjadi perhatian penuh bagi pemerintah kota ataupun para desainer kota
masa depan. Desain kota masa depan pun
menempatkan para pejalan kaki sebagai salah satu unsur utama kota. Sebutlah misalnya car free city di Tiongkok, yang akan membangun pusat kota baru bagi
80,000 warga di luar kota Chengdu, yang keseluruhan areanya dapat diakses
dengan berjalan (Walkable). Kota Masdar di Abu Dhabi, yang mengklaim
sebagai kota Metropolis paling sustainable
di seluruh dunia, atau World’s first
zero-carbon city, tidak akan memberikan ruang bagi mobil. Transportasinya menggunakan transportasi rapid transit system yang digerakkan
oleh energi matahari, angin dan panas bumi.
Di kota Wina dan Stockholm bahkan memperluas wilayah bagi pejalan kaki
seperti di trotoar di sisi jalan.
Kota
masa depan atau smart city menurut Alexander
Ståhle dari KTH Royal Institute,
Swedia, adalah kota yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau walkability.
Kota yang inovatif adalah yang mempunyai kerapatan atau kepadatan (density) seperti pada pemanfaatan
lahan atau land use. Kerapatan yang baik adalah baiknya ruang
publik, dan menghubungkan tempat-tempat interaksi. Kondisi bagi pejalan kaki
memerlukan kerapatan ini. Kerapatan ini tidak
bergantung pada kendaraan atau mobil.
Semakin tinggi kerapatan, semakin kurang penggunaan mobil, sebaliknya
semakin tinggi penggunaan sepeda, transportasi publik, dan pejalan kaki.
Dari kerapatan
ini Ståhle menjelaskan bahwa kota yang cerdas, atau bahkan lebih cerdas atau smarter, adalah yang memiliki kota yang
mempunyai tempat interaksi yang tinggi dengan biaya lebih rendah (low cost high interaction). Tempat interaksi paling tinggi adalah di
tempat kerja, lalu rumah, kemudian di tempat pejalan kaki dan paling rendah di
daerah jalan raya. Interaksi yang
memerlukan biaya paling rendah adalah di tempat pejalan kaki dan sepeda,
menyusul tempat kerja atau kantor, dan paling tinggi di jalan raya dan stasiun
kereta.
Berangkat dari
kriteria low cost high interaction di
atas, Ståhle mengurutkan 10 teknologi bagi kota cerdas. Tiga teknologi terbawa adalah masing-masing
mobil robot, drone (pesawat tanpa
awak) dan kereta kecepatan tinggi.
Sementara pertama adalah sidewalk atau
trotoar atau ruang pejalan kaki tepi jalan.
“Adalah pejalan kaki, bukan mobil, yang menggerakkan ekonomi”, kata
Janette Sadik Khan dari NYC DOT, dan “trotoar yang berkualitas merupakan elemen
dasar sebuah kota demokratis”, menurut Enrique Penalosa dari ITDP, sebagaimana
dikutip oleh Alexander Ståhle.
Tidaklah
mengherankan jika kota-kota besar dunia menyadari dan saling berlomba guna
membuat kotanya betul-betul dianggap sebagai kota pejalan kaki. Stockholm bertransformasi dari kota industri
(1910), kota trem (1945), kota metro (2010), menjadi kota de-industrialisasi
(2010), untuk menjadi kota pejalan kaki, Walkable
city, di 2025 nanti. Bahkan di
Amerika, Kanada dan Australia sama-sama menetapkan walk score untuk memicu kota-kota mereka menjadi ramah bagi pejalan
kaki. Organisasi nirlaba Walk21, yang bertujuan menghubungkan
pemerintah kota, masyarakat, dan warga bersama mencapai masa depan yang ramah
bagi pejalan kaki, mendeklarasikan International
Charter for Walking. Piagam ini
telah ditandatangani sekitar lebih dari 4,000 orang dan organisasi termasuk
sejumlah pemerintah dan walikota.
Kota yang mendorong dan memberikan kepada
warganya pilihan dan dapat berjalan kaki sebagai caranya untuk melakukan
perjalanan ataupun kegiatan lainnya, untuk menjadi sehat, dan untuk bersantai
adalah tempat yang tepat terciptanya inovasi yang lebih cepat, pertumbuhan
ekonomi lebih baik, lingkungan yang lebih sehat, dan hidup. Kota ini bakal diceritakan oleh dunia. Kota dunia.* (Riad Mustafa)