MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Sabtu, 09 Januari 2016

Gotong-Royong Membangun dan ‘Membahasakan’ Kota Masa Depan

Photo: Youtube, Siemens Crystal Launch, Innovision Ltd.

Makassar. Smartcitymakassar.com. Kita tidak lagi hidup dalam isolasi.  Kota, misalnya, memerlukan visualisasi dan pemodelan dari konsep masa depan.  Untuk keperluan tersebut, pemerintah kota merangkul institusi pendidikan, lembaga penelitian maupun bidang usaha konsultasi.  Di lain pihak, bidang usaha, kebanyakan merupakan perusahaan besar, menyadari potensi besar kota di masa depan.  Mereka melihat kota sebagai ‘pelanggan’.  IBM, Siemens, Cisco, Intel, Microsoft, Philips melihat dan menyadari potensi tersebut.  Mereka ‘menanam’ pekerjaannya dalam lahan ‘kota’.  ‘Benih’ proyek atau kemitraan ditanamkan.  Beberapa dari mereka bahkan ‘membeli’ semua kerja ‘menanam’ tersebut dengan biaya tidak sedikit.  Perusahaan melibatkan peneliti, ilmuwan, bahkan mahasiswa secara bersama menciptakan model, mendesain prototype, memulai proyek percontohan, dan mengembangkan aplikasi berbasis teknologi informasi.  Arah menggotongroyongi program Smart City, memutar roda inovasi bergerak, membangun dan merealisasikan kota masa depan, menjadi tren dan arah pelibatan beragam peran di masa depan.

Charbel Aoun, petinggi Schneider Electric yang membawahi unit Smart Cities, mengungkapkan pentingnya melakukan kolaborasi, membangun inovasi terbuka (open innovation).  Smart Chicago Collaborative adalah contoh yang diberikan Aoun.  Di Hongkong, bahkan Schneider terlibat dalam program kota tersebut, Wise City.  Jika sebelumnya bentuk kerjasama atau kolaborasi yang disebut sebagai 3P (Public Private Partnership) adalah model yang banyak digunakan, Boyd Cohen, ahli strategi dalam bidang iklim dan kota, memperkenalkan konsep 5P (Public-Private-People-Partnership) sebagai syarat kota menjadi smart. 

Kolaborasi, kerjasama, hubungan resiprokal, atau gotong–royong menjadi syarat ‘perlu’ bagi pengembangan kota masa depan.  Teknologi Komunikasi dan Informasi (TIK), infrastruktur digital, adalah syarat ‘cukup’nya.  Kegotongroyongan ini, pembukaan ruang-ruang inovasi terbuka, dikerjakan oleh para agen, sang actor, atau ‘pengendara’ Smart City.  Para agen itu adalah para kepala yang tersebar dalam sistem, struktur dan proses Smart City.  Mereka merupakan principal yang bekerja dengan arahan sang ‘konduktor’.  Mereka bekerja secara relasional, tidak lagi ada isolasi kerja.  Keberhasilan implementasi Smart City bergantung dari kerja relasional tersebut.  Relasional kerja yang hadirakan menggerakkan orkestra sistem, struktur, dan proses dalam satu simfoni Smart City. 

Selain nama Smart City, sebenarnya konsep dan program kota masa depan amat kaya dengan nama, begitu beragam.  Tampak jelas ada banyak ‘bahasa’ melihat, memahami dan menerjemahkan menuju kota masa depan.  Ini berangkat dari keragaman kompetensi dan nilai yang menghasilkan daya-saing tiap kota.  Daya saing mempunyai karakter uniknya di tiap kota.  Daya saing adalah modal utama untuk menggerakkan kota ke masa depan mereka. Tercatat masih sedikit kota, atau negara pada tingkat lebih tinggi, mencoba sejak awal menyatukan ‘bahasa’.  Namun beberapa negara, seperti Inggris, Jerman dan Austria telah memulainya.  Mereka menyadari pentingnya ‘bahasa’ itu; standar tersebut.  Organisasi yang spesifik bergerak dalam layanan standarisasi merespon perubahan tersebut, bahkan lebih aktif melibatkan diri.* (Riad Mustafa)