Photo: Youtube, Siemens Crystal Launch, Innovision Ltd. |
Makassar. Smartcitymakassar.com. Kita tidak lagi
hidup dalam isolasi. Kota, misalnya,
memerlukan visualisasi dan pemodelan dari konsep masa depan. Untuk keperluan tersebut, pemerintah kota merangkul
institusi pendidikan, lembaga penelitian maupun bidang usaha konsultasi. Di lain pihak, bidang usaha, kebanyakan merupakan
perusahaan besar, menyadari potensi besar kota di masa depan. Mereka melihat kota sebagai ‘pelanggan’. IBM, Siemens, Cisco, Intel, Microsoft,
Philips melihat dan menyadari potensi tersebut.
Mereka ‘menanam’ pekerjaannya dalam lahan ‘kota’. ‘Benih’ proyek atau kemitraan ditanamkan. Beberapa dari mereka bahkan ‘membeli’ semua
kerja ‘menanam’ tersebut dengan biaya tidak sedikit. Perusahaan melibatkan peneliti, ilmuwan,
bahkan mahasiswa secara bersama menciptakan model, mendesain prototype, memulai
proyek percontohan, dan mengembangkan aplikasi berbasis teknologi informasi. Arah menggotongroyongi program Smart City, memutar
roda inovasi bergerak, membangun dan merealisasikan kota masa depan, menjadi
tren dan arah pelibatan beragam peran di masa depan.
Charbel Aoun,
petinggi Schneider Electric yang membawahi unit Smart Cities, mengungkapkan
pentingnya melakukan kolaborasi, membangun inovasi terbuka (open innovation). Smart
Chicago Collaborative adalah contoh yang diberikan Aoun. Di Hongkong, bahkan Schneider terlibat dalam
program kota tersebut, Wise City. Jika sebelumnya bentuk kerjasama atau
kolaborasi yang disebut sebagai 3P (Public Private Partnership) adalah model
yang banyak digunakan, Boyd Cohen, ahli strategi dalam bidang iklim dan kota,
memperkenalkan konsep 5P (Public-Private-People-Partnership) sebagai syarat
kota menjadi smart.
Kolaborasi,
kerjasama, hubungan resiprokal, atau gotong–royong menjadi syarat ‘perlu’ bagi
pengembangan kota masa depan. Teknologi
Komunikasi dan Informasi (TIK), infrastruktur digital, adalah syarat
‘cukup’nya. Kegotongroyongan ini, pembukaan ruang-ruang
inovasi terbuka, dikerjakan oleh para agen, sang actor, atau ‘pengendara’ Smart City. Para agen itu adalah para kepala yang tersebar
dalam sistem, struktur dan proses Smart
City. Mereka merupakan principal yang bekerja dengan arahan
sang ‘konduktor’. Mereka bekerja secara
relasional, tidak lagi ada isolasi kerja.
Keberhasilan implementasi Smart
City bergantung dari kerja relasional tersebut. Relasional kerja yang hadirakan menggerakkan
orkestra sistem, struktur, dan proses dalam satu simfoni Smart City.
Selain nama Smart City, sebenarnya konsep dan
program kota masa depan amat kaya dengan nama, begitu beragam. Tampak jelas ada banyak ‘bahasa’ melihat,
memahami dan menerjemahkan menuju kota masa depan. Ini berangkat dari keragaman kompetensi dan
nilai yang menghasilkan daya-saing tiap kota.
Daya saing mempunyai karakter uniknya di tiap kota. Daya saing adalah modal utama untuk menggerakkan
kota ke masa depan mereka. Tercatat masih sedikit kota, atau negara pada
tingkat lebih tinggi, mencoba sejak awal menyatukan ‘bahasa’. Namun beberapa negara, seperti Inggris,
Jerman dan Austria telah memulainya.
Mereka menyadari pentingnya ‘bahasa’ itu; standar tersebut. Organisasi yang spesifik bergerak dalam
layanan standarisasi merespon perubahan tersebut, bahkan lebih aktif melibatkan
diri.* (Riad Mustafa)