MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Selasa, 01 Agustus 2017

Seputar Mutu Beras Kemasan dan Pencampuran Beras


Oleh: Dody D. Handoko, Ph.D. - Peneliti BB Padi Kementan

smartcitymakassar.com - Melengkapi beras curah yang tersedia di pasar tradisional, belakangan ini muncul berbagai merek (brands) beras kemasan di pasar modern dengan beragam label dan desain kemasan yang menarik. Beragam jenis beras tersedia dari sekedar beras sosoh (putih), beras wangi, beras pecah kulit, beras merah, beras hitam sampai beras organik, dengan atau tanpa menyebut asal varietas padinya. Ukuran kemasan juga bervariasi mulai dari yang 1, 2, 5 atau 10 kg. Kelas mutu beras juga bervariasi mulai dari kelas mutu medium sampai premium. Tulisan ini membahas secara ringkas mutu beras, varietas padi yang populer di petani, serta informasi apa yang seharusnya ada di label beras kemasan.

Untuk memahami pokok bahasan tulisan ini, sebaiknya kita pahami dahulu tentang mutu beras. Mutu beras adalah sekumpulan sifat fisik, kimia, fisikokimia, organoleptik dan flavor yang ada pada beras atau nasinya. Secara umum butir beras disusun oleh komponen/zat gizi pati, protein, lemak, abu, dan komponen minor lainnya seperti vitamin dan mineral. Sebagai komponen penyumbang materi terbesar di butiran beras maka sifat fisikokimia beras ditentukan oleh sifat fisikokimia pati. Sifat-sifat pati seperti suhu gelatinisasi, kadar amilosa, dan konsistensi gel merupakan sifat-sifat fisikokimia yang penting pada beras.

Ketika membeli beras (sosoh), konsumen biasanya lebih memilih beras berwarna putih bersih mengkilap,  memiliki persentase beras kepala/utuh yang  tinggi, serta tidak mengandung gabah atau benda asing.  Beras berwarna putih mengkilap karena telah melewati proses penyosohan yang menghilangkan lapisan kulit ari (bran layers) pada butir beras. Sebagian konsumen beras menyukai beras dengan tekstur nasi pulen, dan sebagian yang lainnya menyukai tekstur nasi pera. Sebagai contoh, masyarakat di Pulau Jawa lebih menyukai beras dengan tekstur nasi pulen dibandingkan dengan yang pera, sedangkan masyarakat di Sumatera Barat lebih menyukai beras dengan tekstur nasi pera dibandingkan dengan yang pulen. Tesktur nasi ini berkorelasi (berhubungan) erat dengan kadar amilosa beras.

Kita tidak bisa lepas dari SNI beras ketika membahas mutu beras. SNI beras yang terakhir adalah SNI 6128:2015, namun di pasaran beras banyak beras kemasan yang masih memakai SNI 6128:2008. Kedua SNI beras tersebut lebih menyandarkan persyaratan mutu beras pada sifat fisik beras seperti derajat sosoh, kadar air, persentase beras kepala, beras patah, menir, merah kuning/rusak, benda asing dan butir gabah. Meski persyaratan mutu kedua SNI tersebut sama, terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Pertama, kelas mutu SNI 6128:2008 membagi kelas mutu beras menjadi mutu I, II, III, IV dan V, sedangkan SNI 6128:2015 menyederhanakan kelas mutu tersebut; mutu I menjadi premium, sedangkan mutu III, IV dan V menjadi mutu Medium 1, Medium 2 dan Medium 3. Kedua, pada klausul 10 (Rekomendasi), pada SNI 6128:2015 ditambahkan klausul 10.3 Penandaan varietas: nama varietas dan komposisi varietas (apabila ada), yang sebelumnya tergabung dalam klausul 8 (Penandaan) pada 6128:2008.

Hal mendasar yang perlu diperhatikan pada SNI beras tersebut adalah: (a) SNI beras bersifat sukarela (tidak wajib), artinya beras kemasan di pasaran tidak wajib memenuhi persyaratan mutu SNI beras atau tidak wajib mencantumkan label SNI pada kemasannya; (b) SNI beras ini hanya membahas beras sosoh, sedangkan beras pecah kulit dan ketan tidak dibahas. Namun demikian, apabila suatu merek beras kemasan mencantumkan label SNI, sudah semestinya  pada kemasannya mencantumkan informasi: (a) kelas mutu, (b) tekstur nasi, (c) nama dan alamat perusahaan, (d) berat bersih, dan (e) tanggal produksi, seperti tercantum dalam klausul 8 (Penandaan) serta mencantumkan klausul 10.3 Penandaan varietas: nama varietas dan komposisi varietas (apabila ada). Sayangnya terdapat beberapa merek beras yang terkenal meski mencantumkan label SNI beras tidak memberikan informasi kelas mutu berasnya.

Meski terdapat sejumlah petani yang melakukan proses pascapanen padi, kegiatan pascapanen padi dewasa ini lebih banyak dilakukan oleh penggilingan padi baik skala kecil maupun besar. Karena kebutuhan uang tunai yang mendesak atau tidak memiliki lantai jemur, petani banyak yang menjual gabah kering panennya (GKP) langsung di sawah. Para pengepul membeli  GKP tersebut kemudian menjualnya ke para penggilingan padi. Penggilingan padi kemudian mengeringkan gabah, menggiling dan mengemas beras. Masalah yang timbul adalah varietas atau jenis padi apa yang mesti dicantumkan pada label beras kemasan. Hal ini  terjadi karena terdapat banyak varietas padi, seperti IR 64, Ciherang, Mekongga, dan Inpari 30, yang ditanam oleh petani. Berbagai varietas padi tersebut sekitar 90% adalah hasil proses perakitan varietas oleh Kementan (Balitbangtan). Varietas IR64 memang sangat disukai oleh konsumen, namun karena sudah rentan terhadap hama utama padi seperti wereng batang coklat, hanya sedikit petani yang menanam, dan luasannya pun relatif kecil.

Sebagian besar varietas padi yang ditanam oleh petani sekarang  yaitu Ciherang, Mekongga, atau Inpari 30 merupakan turunan atau perbaikan dari IR-64. Berbagai varietas beras tersebut memiliki bentuk fisik beras yang hampir sama yaitu lonjong dengan panjang butir 6-7mm dengan rasio panjang: lebar butir 3,0-3,5.  Karena memiliki bentuk gabah (dan beras) yang mirip, para pengepul atau penggilingan tidak memisahkan gabah yang mereka beli meskipun berasal dari beragam varietas padi. Hal ini dikarenakan diperlukan biaya lebih untuk memisahkan berbagai gabah yang dibeli dari petani selama proses pembelian, pengeringan dan penggilingan. Para penggilingan padi juga berdalih mereka mencampur (blending) berbagai varietas beras tersebut untuk menghasilkan beras dengan karakteristik tertentu yang disukai oleh konsumen mereka.

Pencampuran gabah ini paling tidak memiliki dua implikasi. Pertama, penggilingan padi yang memproduksi beras dengan label varietas bisa dipastikan mereka menanam padi sendiri atau memiliki kerjasama dengan petani/kelompok tani tertentu dengan memiliki perjanjian untuk menanam varietas tertentu sehingga varietas padi yang ditanam dapat diatur dan beras kemasan yang dihasilkan dapat dijamin varietasnya. Pada umumnya penggilingan padi yang menanam padi, atau yang berkerjasama dengan petani/kelompok tani tertentu, itu skala produksinya kecil atau menengah. Kedua, mayoritas penggilingan padi atau pedagang beras memproduksi atau menjual beras campuran (berbagai varietas padi).  Hal ini karena sebagian besar penggilingan padi terutama penggilingan padi skala menengah dan besar hanya mengandalkan para pengepul gabah untuk memasok bahan baku beras, dan mereka tidak melakukan pemisahan gabah berdasarkan varietas untuk diproses. Di pasaran banyak beredar beras kemasan yang berlabel varietas IR-64, atau beras Pandan Wangi, namun kebenarannya sangat diragukan kecuali ada sertifikat jaminan varietas di label kemasannya.

Pengoplosan beras berbeda dengan pencampuran (blending) beras. Pengoplosan beras dilakukan seringkali dengan menambah beras bermutu baik dengan beras bermutu rendah bahkan diragukan keamanan pangannya untuk menurunkan harga beras. Sedangkan, pencampuran beras dilakukan atas bahan baku beberapa beras bermutu baik dengan proporsi tertentu untuk memperoleh beras dengan karakteristik tertentu yang disukai konsumen. Pencampuran beras juga terjadi karena penggilingan padi seringkali tidak bisa memisahkan berbagai varietas gabah yang diterima dari petani atau pengepul.

Agar pasar beras kemasan yang sedang tumbuh berjalan secara fair dan adil diperlukan tiga hal, yaitu: kejujuran produsen, edukasi konsumen dan penegakan hukum. Produsen beras, khususnya penggilingan padi dan pedagang beras, mesti jujur mencantumkan jenis/varietas (beras campuran atau varietas tertentu) di label beras kemasannya, dan sebisa mungkin memenuhi persyaratan mutu SNI beras. Apabila beras kemasan sudah memiliki sertifikat SNI, kelas mutu beras (premium atau medium) mesti dicantumkan di label kemasannya. Pemerintah dan masyarakat perlu mengedukasi konsumen beras untuk mengetahui persyaratan mutu beras, ciri-ciri/bahaya beras oplosan dan menganjurkan konsumen beras untuk membeli beras kemasan yang bermutu baik atau memiliki label SNI Beras. Terakhir, penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelaku pengoplosan beras yang membahayakan kesehatan masyarakat. (*)