MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Selasa, 29 Desember 2015

City Marketing; Membangun Identitas Makassar

Smartcitymakassar.com. --Makassar- Sama seperti kota-kota metropolis lainnya di tanah air, Makassar berkembang dengan segala kompleksitasnya. Uniknya, perkembangan kota-kota di tanah air nyaris sama, "meniru" Jakarta yang terlanjur sarat masalah. Kemacetan, polusi, kriminalitas, tempat-tempat kumuh yang terus bermunculan bersaing dengan fasilitas moderen yang dibangun tanpa pertimbangan keseimbangan ekologis.

Namun Makassar tetaplah Makassar. Kota dengan sejarah yang panjang dan selalu memiliki daya tarik banyak pihak. Sejak dulu banyak pendatang mengadu peruntungan hidup, mulai dari berdagang, bêrinvestasi, melanjutkan sekolah hingga keinginan untuk menguasai karena letaknya sebagai pusat ekonomi dan budaya. Singkatnya, Makassar adalah kota yang memiliki aura sejak dulu bukan saja dimata bangsa-bangsa disekitar Kawasan Timur Indonesia (KTI) tetapi juga dunia.

Sebagai salah satu kota penting di Indonesia, Makassar tentu saja tidak bisa dibiarkan tumbuh tanpa strategi sehingga tidak mampu memayungi aktivitas warganya secara efisien. Sayangnya, dari pengalaman penulis menelusuri beberapa kota besar di tanah air, hampir semuanya berkembang “tanpa kendali”. Master plan kota yang seharusnya menjadi pijakan bersama kurang diberi tempat, parahnya lagi hanya menjadi dokumen pihak tertentu dan tidak pernah menjadi sarana kontrol bagi publik. Wajar jika ritme modernitas kota hanya termanifestasi pada menjamurnya fasilitas serba moderen yang sebenarnya tidak pernah bisa mengakomodir banyak pihak.

Munculnya pusat-pusat perkantoran, perumahan, dan tentu saja mal dan kondominium mempertegas bahwa indikasi pesatnya pembangunan kota hanya karena mereka memiliki berbagai fasilitas yang sama dengan ibu kota. Tentu saja situasi ini kurang menguntungkan, sebab Jakarta sendiri tumbuh menjadi kota yang tidak efisien, sarat masalah dan tidak lagi bersahabat dengan sebagian besar warganya. Perlu dicatat beberapa masalah seperti banjir, kemacetan panjang dan masalah sampah kian terasa dampaknya di kota Anging Mammiri.

Contoh kecil, amblasnya jalan di kawasan Pantai Losari beberapa waktu lalu hanyalah sebuah titik kecil bagaimana akselerasi pembangunan fisik yang selama ini dijalankan terus membebani kota tua Makassar. Sayangnya, momen seperti ini selalu terlewatkan begitu saja tanpa upaya introspektif. Gagasan besar pemimpinnya untuk mengatasi sampah, bahkan menukarnya dengan beras tentu saja sangat brilian namun harus dikritisi penuh tanya. Bagaimana konsepya, sudahkah infrastruktur sampah dipersiapkan? Sudahkah masyarakat diedukasi tentang sampah? Jika semunya belum, maka gagasan ini akan menjadi utang yang sulit terbayar karena memang tidak pernah dikalkulasi secara realistis.


City Marketing

Potensi Makassar harus ditata dengan pendekatan kolaboratif (collaborate) dengan melibatkan para stakeholder-nya. Strategi ini menuntut partisipasi pihak-pihak lain secara luas seperti: bisnis, masyarakat, universitas, lembaga riset yang kredibel, dst, tidak didominasi oleh elit pemerintah apalagi oleh segelintir politikus. Kotler et al. (2002) menegaskan bahwa daya saing sebuah kota haruslah berbasis strategi, yaitu “designing a place to satisfy the needs of its target markets. It succeeds when citizens and businesses are pleased with their community, and the expectations of visitors and investors are met”. Spirit dari strategi ini adalah membangun daya saing kota dengan mengedepankan kebutuhan dan efisiensi, untuk itu seluruh elemennya harus diberi tempat berpartisipasi bahwa kota (a city) adalah milik sekaligus menjadi tanggungjawab bersama.

Melalui sinergi wajah kota yang lebih manusiawi akan terwujud. Semua bisa hidup berdampingan dalam menciptakan kesempatan, mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sehingga daya-saingnya di mata pasar (investor, entrepreneur, visitor) terus meningkat dan peluang kesejahteraan bagi seluruh warganya pun terbuka lebar. Kota-kota di Eropa selalu terlihat indah karena harmoni yang selalu mengedepankan strategi jangka panjang, sebut saja Norwich-Norfolk di timur Inggris yang mampu meningkatkan daya saingnya  tanpa harus mengeksplor sumber daya alamnya. Sebaliknya, hanya dengan menjamin keamanan warganya, menjaga kualitas lingkungan, serta merawat cagar budaya, kotanya justru dapat tumbuh menjadi salah satu tempat terbaik di Eropa dari segi kualitas hidup dan kenyamanan beraktivitas. Bangunan modern bisa berdiri namun tetap selaras dengan arsitektur kota peninggalan abad pertengahan. Pasar tradisionalnya bisa ditempatkan berdampingan dengan pertokoan modern, bahkan di jadikan sebagai ikon pariwisata. Para pengamen justru ditunggu aktivitasnya karena mereka sangat menghibur.

Saat dunia mengeluh tentang perubahan iklim, Norwich-Norfolk telah merintis riset berkesinambungan tentang perubahan iklim (climate change). Pemerintah kotanya mengalokasikan dana demikian besar untuk kegiatan riset—bukan sekedar menghabiskan anggaran untuk kegiatan yang tidak jelas seperti yang kerap kita lakukan—sehingga menjadi daya tarik bagi banyak pakar kaliber international bermukim disana. Saat ini, hampir 50% pakar perubahan iklim di UK melakukan aktivitas riset di University of East Anglia (UEA) dan Norwich Research Park (NRP), Norwich. Singkatnya, pemerintah, dunia bisnis, universitas dan masyarakatnya saling bahu-membahu dalam mendukung agar kota mereka tumbuh dengan identitas kuat.

Proaktif dan visi jangka panjang adalah bukti integritas sebuah kota. Melalui perencanaan dengan komitmen pemimpinya banyak kota kecil yang sebelumnya hanya dipandang sebelah mata dapat tumbuh dengan caranya sendiri. Mereka menjadi sangat spesifik, unik, namun dengan begitu eksistensinya dipandang penuh arti, tidak saja oleh warganya melainkan oleh dunia. 

Perspektif seperti inilah yang seharusnya tertanam jauh di lubuk hati para pejabat berwenang kota tercinta Makassar, bukan sekedar janji-janji kosong saat kampanye. Daya saing kota bukan ditentukan berapa banyak sumber daya alam yang dimiliki serta keberadaan bangunan fisik yang menjamur, melainkan seberapa kreatif para aktor didalamnya untuk saling bersinergi. Dalam konteks ini Kotler (1993) menegaskan: “a place’s potential depends not so much on a place’s location, climate, and natural resources ….”. Intinya, hanya keinginan kuat dan kreatifitas para aktor-nyalah yang akan menentukan bagaimana identitas Makassar kini dan esok.

Andi M. Sadat
Research interest on management,  lives in Jakarta.