Smartcitymakassar.com. --Makassar- Sama seperti kota-kota metropolis lainnya di tanah air, Makassar berkembang dengan segala kompleksitasnya. Uniknya, perkembangan kota-kota di tanah air nyaris sama, "meniru" Jakarta yang terlanjur sarat masalah. Kemacetan, polusi, kriminalitas, tempat-tempat kumuh yang terus bermunculan bersaing dengan fasilitas moderen yang dibangun tanpa pertimbangan keseimbangan ekologis.
Namun Makassar tetaplah Makassar. Kota dengan sejarah yang panjang dan selalu memiliki
daya tarik banyak pihak. Sejak dulu banyak pendatang mengadu
peruntungan hidup, mulai dari berdagang,
bêrinvestasi, melanjutkan sekolah hingga
keinginan untuk menguasai karena letaknya sebagai pusat ekonomi dan budaya.
Singkatnya, Makassar adalah kota yang memiliki
aura sejak dulu bukan saja dimata bangsa-bangsa disekitar Kawasan
Timur Indonesia (KTI) tetapi juga dunia.
Sebagai salah satu kota penting
di Indonesia, Makassar tentu saja tidak bisa dibiarkan tumbuh tanpa strategi
sehingga tidak mampu memayungi aktivitas warganya secara efisien. Sayangnya,
dari pengalaman penulis menelusuri beberapa kota besar di tanah air, hampir
semuanya berkembang “tanpa kendali”. Master plan kota yang seharusnya menjadi
pijakan bersama kurang diberi tempat, parahnya lagi hanya menjadi dokumen pihak
tertentu dan tidak pernah menjadi sarana kontrol bagi publik. Wajar jika ritme
modernitas kota hanya termanifestasi pada menjamurnya fasilitas serba moderen
yang sebenarnya tidak pernah bisa mengakomodir banyak pihak.
Munculnya pusat-pusat
perkantoran, perumahan, dan tentu saja mal dan kondominium mempertegas bahwa indikasi
pesatnya pembangunan kota hanya karena mereka memiliki berbagai fasilitas yang
sama dengan ibu kota. Tentu saja situasi ini kurang menguntungkan, sebab Jakarta
sendiri tumbuh menjadi kota yang tidak efisien, sarat masalah dan tidak lagi
bersahabat dengan sebagian besar warganya. Perlu dicatat beberapa masalah seperti
banjir, kemacetan panjang dan masalah sampah kian terasa dampaknya di kota
Anging Mammiri.
Contoh kecil, amblasnya
jalan di kawasan Pantai Losari beberapa waktu lalu hanyalah sebuah titik kecil
bagaimana akselerasi pembangunan fisik yang selama ini dijalankan terus
membebani kota tua Makassar. Sayangnya, momen seperti ini selalu terlewatkan
begitu saja tanpa upaya introspektif. Gagasan besar pemimpinnya untuk mengatasi
sampah, bahkan menukarnya dengan beras tentu saja sangat brilian namun harus
dikritisi penuh tanya. Bagaimana konsepya, sudahkah infrastruktur sampah
dipersiapkan? Sudahkah masyarakat diedukasi tentang sampah? Jika semunya belum,
maka gagasan ini akan menjadi utang yang sulit terbayar karena memang tidak
pernah dikalkulasi secara realistis.
City Marketing
Potensi Makassar harus ditata
dengan pendekatan kolaboratif (collaborate)
dengan melibatkan para stakeholder-nya.
Strategi ini menuntut partisipasi pihak-pihak lain secara luas seperti: bisnis,
masyarakat, universitas, lembaga riset yang kredibel, dst, tidak didominasi
oleh elit pemerintah apalagi oleh segelintir politikus. Kotler et al. (2002) menegaskan
bahwa daya saing sebuah kota haruslah berbasis strategi, yaitu “designing a
place to satisfy the needs of its target markets. It succeeds when citizens and
businesses are pleased with their community, and the expectations of visitors
and investors are met”. Spirit dari strategi ini adalah membangun daya
saing kota dengan mengedepankan kebutuhan dan efisiensi, untuk itu seluruh
elemennya harus diberi tempat berpartisipasi bahwa kota (a city) adalah milik sekaligus menjadi tanggungjawab bersama.
Melalui sinergi wajah kota
yang lebih manusiawi akan terwujud. Semua bisa hidup berdampingan dalam
menciptakan kesempatan, mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi sehingga
daya-saingnya di mata pasar (investor,
entrepreneur, visitor) terus meningkat dan peluang kesejahteraan bagi
seluruh warganya pun terbuka lebar. Kota-kota di Eropa selalu terlihat indah
karena harmoni yang selalu mengedepankan strategi jangka panjang, sebut saja
Norwich-Norfolk di timur Inggris yang mampu meningkatkan daya saingnya tanpa harus mengeksplor sumber daya alamnya.
Sebaliknya, hanya dengan menjamin keamanan warganya, menjaga kualitas
lingkungan, serta merawat cagar budaya, kotanya justru dapat tumbuh menjadi
salah satu tempat terbaik di Eropa dari segi kualitas hidup dan kenyamanan
beraktivitas. Bangunan modern bisa berdiri namun tetap selaras dengan
arsitektur kota peninggalan abad pertengahan. Pasar tradisionalnya bisa
ditempatkan berdampingan dengan pertokoan modern, bahkan di jadikan sebagai
ikon pariwisata. Para pengamen justru ditunggu aktivitasnya karena mereka
sangat menghibur.
Saat dunia mengeluh tentang
perubahan iklim, Norwich-Norfolk telah merintis riset berkesinambungan tentang
perubahan iklim (climate change).
Pemerintah kotanya mengalokasikan dana demikian besar untuk kegiatan
riset—bukan sekedar menghabiskan anggaran untuk kegiatan yang tidak jelas
seperti yang kerap kita lakukan—sehingga menjadi daya tarik bagi banyak pakar
kaliber international bermukim disana. Saat ini, hampir 50% pakar perubahan
iklim di UK melakukan aktivitas riset di University of East Anglia (UEA) dan
Norwich Research Park (NRP), Norwich. Singkatnya, pemerintah, dunia bisnis,
universitas dan masyarakatnya saling bahu-membahu dalam mendukung agar kota
mereka tumbuh dengan identitas kuat.
Proaktif dan visi jangka
panjang adalah bukti integritas sebuah kota. Melalui perencanaan dengan
komitmen pemimpinya banyak kota kecil yang sebelumnya hanya dipandang sebelah
mata dapat tumbuh dengan caranya sendiri. Mereka menjadi sangat spesifik, unik,
namun dengan begitu eksistensinya dipandang penuh arti, tidak saja oleh
warganya melainkan oleh dunia.
Perspektif seperti inilah
yang seharusnya tertanam jauh di lubuk hati para pejabat berwenang kota
tercinta Makassar, bukan sekedar janji-janji kosong saat kampanye. Daya saing
kota bukan ditentukan berapa banyak sumber daya alam yang dimiliki serta
keberadaan bangunan fisik yang menjamur, melainkan seberapa kreatif para aktor
didalamnya untuk saling bersinergi. Dalam konteks ini Kotler (1993) menegaskan:
“a place’s potential depends not so much
on a place’s location, climate, and natural resources ….”. Intinya, hanya
keinginan kuat dan kreatifitas para aktor-nyalah yang akan menentukan bagaimana
identitas Makassar kini dan esok.
Andi M. Sadat
Research interest on
management, lives in Jakarta.