Benchmark, 2nd Edition (May 2015)
![]() |
Salah satu sisi kota Stockholm, Swedia (Photo: Project for Public Space, PPS, website) |
Smartcitymakassar.com: “Buatlah
sistem (desain kota) untuk manusianya, bukan manusianya yang diatur mengikuti
sistem itu”, filosofi kebijakan Vision
Zero, kata Matts-Åke Belin sang arsitek utama kebijakan ini. Filosofi yang tidak semata berfokus pada
keselamatan, tapi bagaimana membuat kota menjadi hidup; livable city. Di livable city, manusia adalah
sentrumnya. Rumusan kebijakan kota
Stockholm Vision Zero dengan manusia
sebagai intinya berujung pada satu rencana kota. Rencana kota yang dikenal dengan nama Walkable City Stockholm. Kota bagi pejalan kaki. Walkability
of Stockholm, dan taman High Line-nya New York yang
transformatif adalah contoh jelas bagaimana suatu desain kota masa depan yang
menempatkan manusianya, warganya, para pejalan-kaki, sebagai intinya.
Unsur
manusia dalam desain dan rencana kota tidak berhenti sebagai inti. Warga diundang dan ditarik aktif membangun
kotanya. Partisipasi dibangun,
kepemilikan diciptakan. Di abad
pertengahan, setiap warga, baik itu para ahli atau spesialis kota, artis, seniman,
hingga pengrajin terlibat dalam pembangunan katedral besar mereka. Sekitar periode 1970-an hingga 80-an, William
Whyte telah memperkenalkan metodologi penelitian sosial dalam desain ruang
public. Whyte meneliti bagaimana
kehidupan penduduknya di ruang publik.
Arsitek dan
Desain Kota dari Denmark, Jan Gehl, merencana kota dengan suatu revolusi
terhadap cara warga hidup. Revolusi yang
bertujuan untuk mengubah karakter kota yang “kosong” dan ruang-ruang publik yang “tidak hidup” menjadi tempat yang menarik, nikmat dan aman. Kota dibuat menjadi “dapat-dikenal”. Jan Gehl dikenal memiliki pengetahuan dalam
hal kehidupan suatu kota.
![]() |
Kota Sigtuna, kota pertama di Swedia, ditemukan sekitar abad ke-10. (Photo: Ola Ericson, Visit Stockholm website) |
Keterlibatan
yang menciptakan rasa-kepemilikan kota dari warganya juga dijelaskan oleh Peabody, perusahaan perumahan terbesar
dan tertua di London, Inggris. Bagi Peabody, keterlibatan warga yang kuat
dan aktif dalam proses pembangunan merupakan hal yang alami. Setiap warga memiliki suara. Para desainer di Peabody bertanya, mendengar, dan menyelidiki bagaimana orang
berperilaku serta bereaksi di ruang-ruang publik. Mereka memerlukan pengertian yang lengkap
tentang bagaimana pendapat warga mengenai kondisi sekarang dan masa depan dari
ruang-ruang publik. Warga diminta
pendapatnya tentang usulan ruang publik dari desainer. Sehingga desain yang dihasilkan “terhubung”
dengan pemakainya. Hasil yang dinikmati
dari proses ini adalah perbaikan terus-menerus bagi lingkungan tempat tinggal
mereka.
Alexander Ståhle
dari KTH Institute of Technology dan kantor perencanaan kota memperlihatkan
bagaimana pentingnya menempatkan warga pejalan kaki sebagai pusat desain kota
Stockholm. Warga adalah pertimbangan
kunci; bagai “sang raja”. Ståhle menguraikan
tingkat-kerapatan pejalan-kaki yang tinggi dengan kondisi smartness. Tingkat-kerapatan yang baik mendukung adanya ruang publik
yang baik. Kota yang smarter, adalah tempat dimana terjadi
interaksi warga yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah. Level interaksi paling tinggi adalah face-to-face, diikuti di rumah, ruang
pejalan-kaki, dan paling rendah di jalan raya.
Biaya paling rendah ditemukan di ruang pejalan-kaki dan pesepeda, dan
paling tinggi di jalan raya.
Pentingnya faktor pejalan kaki mulai menjadi
salah satu pertimbangan penting di Amerika Serikat. Warga bisa mempertimbangkan jarak tempuh
dengan berjalan ketika akan memilih kota untuk tempatnya melakukan
kegiatan. Dengan Walk Score, atau index bagi pejalan-kaki, warga bisa mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Index ini memberikan informasi bagi warga
mengenai lokasi dengan fasilitas berdasarkan jarak tempuh berjalan.
Dan Hill,
Pimpinan Eksekutif, Institusi Penelitian Fabrica,
di Spanyol, mengingatkan prinsip dalam mendesain suatu kota. “Adalah warganya yang smart yang menjadikan kotanya smart”. Manusianya, warganya, adalah pengalaman
menarik Jeff Loux temukan, menjawab keingintahuannya mengapa setiap orang di
Stockholm lebih banyak berjalan kaki bahkan dalam cuaca tidak bersahabat.*
Dimut di Rubrik 'Benchmark' Edisi 02, Mei 2015, halaman 28-31
Riad Mustafa