Smartcitymakassar.com. --Makassar- Suasana Food Court, Makassar
Trade Centre (MTC) di Lantai 4 siang itu tampak ramai. Para pengujung yang
umumnya karyawan kantor di sekitar Mall tersebut memang lagi memanfaatkan waktu
istirahat mereka dengan bersantap siang. Di lokasi kasir makanan, dengan empat
petugasnya, deretan panjang antrian terlihat. Dengan dibatasi pembatas pita
merah yang membentuk lorong garis memanjang, para pengunjung terlihat tertib
menunggu giliran.
Tiba-tiba dari arah samping di luar area garis pita itu,
seorang perempuan setengah baya merangsek
menyodorkan nota pembelian makanannya untuk dilayani. Petugas kasir tidak
melayani dan menyilahkan perempuan itu masuk ke baris antrian. Tapi perempuan
itu justru semakin ngotot. Untunglah pengunjung lain hanya tersenyum atau
geleng kepala menyaksikan sikap perempuan ini.
Nuansa yang agak berbeda akan tersuguhkan ketika memasuki
kantor pelayanan Pos Besar di jalan Slamet Riadi Makassar. Di kantor yang
melayani berbagai macam keperluan warga kota ini telah menerapkan sistem
antrian berbasis nomor urut. Memasuki pintu bangunan yang masih bercorak
arsitektur masa kolonial ini, pengguna layanan akan dipersilahkan mengambil
nomor urut antrian yang disediakan lewat mesin yang ada di sana.
Setelah nomor urut ada di tangan, pengguna layanan dapat dengan
santai duduk di kursi yang disediakan sambil meninggu nomor urutannya tertera
di display yang terpasang di kantor
itu. Sistem layanan antri dengan model ini memang cukup efektif dalam
menertibkan dan mengajarkan pada warga untuk antri. Sejak PT. Pos Indonesia melakukan
perubahan total dalam sistem layanan, kenyamanan dan kepuasan dalam menggunakan
jasa mereka semakin mendapat apresiasi.
Memang budaya antri belum terlalu mengakar dalam sistem nilai
masyarakat di negeri ini. “Ini juga yang mempengaruhi bagaimana disiplin
masyarakat demikian rendah”, kata Zulkifli , seorang pengajar Fakultas Hukum
Unhas yang mengonsentarikan diri pada prilaku kesadaran hukum masyarakat.
Kesemrawutan, sikap saling menyerobot dan tak menghargai hak orang lain adalah
akar yang lahir dari benih ketidakdisiplinan itu. Budaya antri menjadi
cerminannya yang paling sederhana.
Di Australia, dari literatur
yang pernah dibaca Doktor Hukum Lingkungan ini, seorang guru justru lebih mencemaskan
anak dididiknya yang mengabaikan budaya antri dibanding pengetahuan tentang
matematika. Bagi guru di negeri Kanguru itu, pengetahuan matematika dapat
diajarkan hanya dalam waktu 3 bulan secara intensif, tapi budaya antri 3 tahun
pun bahkan tak cukup karena berkaitan dengan kesadaran yang tumbuh serta
nilai-nilai yang berkaitan dengan penghargaan atas hak orang lain.
Menurut Zulkifli,
memang diperlukan model pendidikan sejak dini pada anak-anak untuk mampu
menanamkan sikap budaya antri itu. Di usia sekolah dasar merupakan momen yang
tepat karena di umur itulah seorang anak mampu menyerap nilai-nilai yang baik
dari lingkungannnya. “Bila telah dewasa, orang akan sulit lagi mengubahnya,
kecuali ada sistem yang mengatur seperti pelayanan di kantor pos itu”, pungkasnya
sambil tersenyum.* (Makmur Gazali)
Dimuat di Smartcity Magazine, Edisi 1, April 2015 (halaman 47)