MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Senin, 21 Desember 2015

Ada Nilai di Baris Antri



Smartcitymakassar.com. --Makassar- Suasana Food Court, Makassar Trade Centre (MTC) di Lantai 4 siang itu tampak ramai. Para pengujung yang umumnya karyawan kantor di sekitar Mall tersebut memang lagi memanfaatkan waktu istirahat mereka dengan bersantap siang. Di lokasi kasir makanan, dengan empat petugasnya, deretan panjang antrian terlihat. Dengan dibatasi pembatas pita merah yang membentuk lorong garis memanjang, para pengunjung terlihat tertib menunggu giliran.

Tiba-tiba dari arah samping di luar area garis pita itu, seorang perempuan setengah baya merangsek menyodorkan nota pembelian makanannya untuk dilayani. Petugas kasir tidak melayani dan menyilahkan perempuan itu masuk ke baris antrian. Tapi perempuan itu justru semakin ngotot. Untunglah pengunjung lain hanya tersenyum atau geleng kepala menyaksikan sikap perempuan ini.

Nuansa yang agak berbeda akan tersuguhkan ketika memasuki kantor pelayanan Pos Besar di jalan Slamet Riadi Makassar. Di kantor yang melayani berbagai macam keperluan warga kota ini telah menerapkan sistem antrian berbasis nomor urut. Memasuki pintu bangunan yang masih bercorak arsitektur masa kolonial ini, pengguna layanan akan dipersilahkan mengambil nomor urut antrian yang disediakan lewat mesin yang ada di sana.

Setelah nomor urut ada di tangan, pengguna layanan dapat dengan santai duduk di kursi yang disediakan sambil meninggu nomor urutannya tertera di display yang terpasang di kantor itu. Sistem layanan antri dengan model ini memang cukup efektif dalam menertibkan dan mengajarkan pada warga untuk antri. Sejak PT. Pos Indonesia melakukan perubahan total dalam sistem layanan, kenyamanan dan kepuasan dalam menggunakan jasa mereka semakin mendapat apresiasi.

Memang budaya antri belum terlalu mengakar dalam sistem nilai masyarakat di negeri ini. “Ini juga yang mempengaruhi bagaimana disiplin masyarakat demikian rendah”, kata Zulkifli , seorang pengajar Fakultas Hukum Unhas yang mengonsentarikan diri pada prilaku kesadaran hukum masyarakat. Kesemrawutan, sikap saling menyerobot dan tak menghargai hak orang lain adalah akar yang lahir dari benih ketidakdisiplinan itu. Budaya antri menjadi cerminannya yang paling sederhana.

Di Australia, dari literatur yang pernah dibaca Doktor Hukum Lingkungan ini, seorang guru justru lebih mencemaskan anak dididiknya yang mengabaikan budaya antri dibanding pengetahuan tentang matematika. Bagi guru di negeri Kanguru itu, pengetahuan matematika dapat diajarkan hanya dalam waktu 3 bulan secara intensif, tapi budaya antri 3 tahun pun bahkan tak cukup karena berkaitan dengan kesadaran yang tumbuh serta nilai-nilai yang berkaitan dengan penghargaan atas hak orang lain.

Menurut Zulkifli, memang diperlukan model pendidikan sejak dini pada anak-anak untuk mampu menanamkan sikap budaya antri itu. Di usia sekolah dasar merupakan momen yang tepat karena di umur itulah seorang anak mampu menyerap nilai-nilai yang baik dari lingkungannnya. “Bila telah dewasa, orang akan sulit lagi mengubahnya, kecuali ada sistem yang mengatur seperti pelayanan di kantor pos itu”, pungkasnya sambil tersenyum.* (Makmur Gazali)

Dimuat di Smartcity Magazine, Edisi 1, April 2015 (halaman 47)