MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Minggu, 20 Desember 2015

Dengan Budaya, Korea Berjaya



Smartcitymakassar.com. --Makassar-  Justru krisis finansial 1997 yang mendera parah menjadikan masyarakat Korea Selatan tidak hanya sekedar bangun.  Mereka secepatnya berdiri, berlari, dan semakin cepat.  Masyarakatnya bertransformasi, dengan kreatifitasnya.  Tidak hanya kreatif, mereka juga mawas dengan kecepatan perubahan teknologi informasi dan komunikasi.  Teknologi informasi dan komunikasi disahabatkan dengan kreatifitas mereka.  Jenis “ginseng” baru tumbuh subur.  Itulah kreatifitas.

“Apa? Belum nonton Gangnam Style? Cacat!”.  Itulah virus “harus tonton” yang ditularkan lagu fenomenal Gangnam Style, dinyanyikan PSY, rapper Korea Selatan (selanjutnya disebut Korea). Empat bulan setelah diunggah di Youtube, sekitar 700-an juta tertular melihat atau menonton.  Sekarang, lebih 2 miliar tertular.  Rekor.  Belum ada yang menyamai di YouTube; mengalahkan Justin Bieber dengan lagu Baby, Taylor Swift dengan Blank Space, serta Kathy Perry yang menyanyikan Roar. November 2013 lalu, group pop Korea lainnya, Girl’s Generation, menerima Video of the Year Award dari YouTube Music Award, menyisihkan Lady Gaga, One Direction, serta Miley Cirus.  Produk kreatif Gangnam Style dan Girl’s Generation ini, dikenal luas sebagai Korean Pop disingkat K-Pop.

K-Pop mengaliri berbagai belahan dunia.  K-Pop meliputi boy band dan girl groups.  Anggotanya umumnya berusia belasan hingga duapuluhan tahun.  Cirinya lebih menonjolkan unsur animasi dan dandanan.  Jenis musiknya kontemporer, kadang menggabungkan beberapa genre. Begitulah ciri yang diperlihatkan misalnya oleh sejumlah boy bands seperti DBSK, Big Band, Infinite, SHINee, dan EXO serta beberapa girl groups seperti Girls’ Generation, 2NE1, Wonder Girls, KARA, Miss A, After School.  K-Pop meraup sekitar USD 5 milyar tahun 2013, seperti ditulis Euny Hong di majalah online The Economist. Majalah Time, dalam edisi 7 Maret 2012 memberi label kepada K-Pop sebagai “The South Korea’s Greatest Export”.

Akhir era 90-an adalah masa berat Korea.  Krisis finansial 1997 menerpa parah mereka.  Adalah salah satunya akibat krisis ini, Presiden saat itu, Kim Dae-Jung memahami bagaimana dan dengan apa mereka keluar dari krisis sekaligus menjadi negara kompetitif di masa depan.  Dengan manusianya yang berkemampuan tak terbatas. Sumber kekuatan raksasa.  Tidak pada sumber daya alam yang terbatas.  Begitulah sang Presiden memahaminya.  Tekad visioner, yang nantinya menjadi terobosan sensasional dan fenomenal, dikeluarkan.

Tekadnya berbuah ‘gelombang Korea’ atau Korean Wave.  Orang Korea menyebutnya hallyu.  Hallyu sangat cepat geraknya, merambah masuk ke beberapa negara di Asia, Afrika, Arab hingga ke Eropa Timur.  Dunia melihat, Korea telah bertransformasi dalam kurun hanya dua dekade.   Duniapun menyadari, Korea berhasil membangun soft power.  Kekuatan berbasis manusia yang kreatif, sendinya adalah budaya.

Gelombang Korea membawa K-Pop, K-Drama, industri konten dan jenis industri budaya lainnya. Drama televisi What is Love All About, serta Stars in my Heart, tahun 1997, menjadi drama populer di Asia Timur.  Di Jepang, yang ukuran pasarnya 20 kali lebih besar dari Korea, tahun 2004, drama Starways to Heaven, ditonton luas.  Drama yang mendulang sukses luar biasa di Jepang dan Hongkong, antara 2004 dan 2006, adalah Winter Sonata dan Daejanggeum. Winter Sonata juga menjadi populer di Iraq dan Uzbekistan.  Di Filipina, beberapa drama dibuat ulang dalam bahasa Tagalog.  Seperti ditulis oleh Dai Yong Jin, associate professor bidang komunikasi di Universitas Simon Fraser, ekspor produk program televisi tersebut naik sekitar 27.4 kali antara 1995 hingga 2007, dengan nilai USD 5.5 juta tahun 1995 menjadi USD 150.9 juta tahun 2007.* (Riad Mustafa)

Dimuat di Smartcity Magazine, Edisi 5, Agustus 2015 (halaman 15)