Smartcitymakassar.com. --Makassar- Justru krisis finansial 1997 yang mendera
parah menjadikan masyarakat Korea Selatan tidak hanya sekedar bangun. Mereka secepatnya berdiri, berlari, dan
semakin cepat. Masyarakatnya
bertransformasi, dengan kreatifitasnya.
Tidak hanya kreatif, mereka juga mawas dengan kecepatan perubahan
teknologi informasi dan komunikasi.
Teknologi informasi dan komunikasi disahabatkan dengan kreatifitas
mereka. Jenis “ginseng” baru tumbuh
subur. Itulah kreatifitas.
“Apa? Belum
nonton Gangnam Style? Cacat!”. Itulah virus “harus tonton” yang ditularkan lagu
fenomenal Gangnam Style, dinyanyikan PSY,
rapper Korea Selatan (selanjutnya
disebut Korea). Empat bulan setelah diunggah di Youtube, sekitar 700-an juta
tertular melihat atau menonton. Sekarang,
lebih 2 miliar tertular. Rekor. Belum ada yang menyamai di YouTube; mengalahkan Justin Bieber
dengan lagu Baby, Taylor Swift dengan
Blank Space, serta Kathy Perry yang
menyanyikan Roar. November 2013 lalu,
group pop Korea lainnya, Girl’s Generation,
menerima Video of the Year Award dari
YouTube Music Award, menyisihkan Lady
Gaga, One Direction, serta Miley Cirus.
Produk kreatif Gangnam Style dan
Girl’s Generation ini, dikenal luas
sebagai Korean Pop disingkat K-Pop.
K-Pop mengaliri berbagai belahan dunia. K-Pop meliputi
boy band dan girl groups. Anggotanya
umumnya berusia belasan hingga duapuluhan tahun. Cirinya lebih menonjolkan unsur animasi dan
dandanan. Jenis musiknya kontemporer,
kadang menggabungkan beberapa genre. Begitulah ciri yang diperlihatkan misalnya
oleh sejumlah boy bands seperti DBSK, Big Band, Infinite, SHINee, dan EXO serta beberapa girl groups seperti Girls’
Generation, 2NE1, Wonder Girls, KARA, Miss A, After School. K-Pop meraup sekitar USD 5 milyar tahun 2013,
seperti ditulis Euny Hong di majalah online The
Economist. Majalah Time, dalam
edisi 7 Maret 2012 memberi label kepada K-Pop sebagai “The South Korea’s Greatest Export”.
Akhir era 90-an
adalah masa berat Korea. Krisis
finansial 1997 menerpa parah mereka. Adalah
salah satunya akibat krisis ini, Presiden saat itu, Kim Dae-Jung memahami
bagaimana dan dengan apa mereka keluar dari krisis sekaligus menjadi negara
kompetitif di masa depan. Dengan manusianya
yang berkemampuan tak terbatas. Sumber kekuatan raksasa. Tidak pada sumber daya alam yang
terbatas. Begitulah sang Presiden
memahaminya. Tekad visioner, yang
nantinya menjadi terobosan sensasional dan fenomenal, dikeluarkan.
Tekadnya berbuah
‘gelombang Korea’ atau Korean Wave. Orang Korea menyebutnya hallyu.
Hallyu sangat cepat geraknya, merambah masuk ke beberapa negara di
Asia, Afrika, Arab hingga ke Eropa Timur.
Dunia melihat, Korea telah bertransformasi dalam kurun hanya dua dekade.
Duniapun menyadari, Korea berhasil
membangun soft power. Kekuatan berbasis manusia yang kreatif,
sendinya adalah budaya.
Gelombang Korea membawa
K-Pop, K-Drama, industri konten dan jenis industri budaya lainnya. Drama televisi
What is Love All About, serta Stars in my Heart, tahun 1997, menjadi
drama populer di Asia Timur. Di Jepang, yang
ukuran pasarnya 20 kali lebih besar dari Korea, tahun 2004, drama Starways to Heaven, ditonton luas. Drama yang mendulang sukses luar biasa di
Jepang dan Hongkong, antara 2004 dan 2006, adalah Winter Sonata dan Daejanggeum.
Winter Sonata juga menjadi populer di
Iraq dan Uzbekistan. Di Filipina,
beberapa drama dibuat ulang dalam bahasa Tagalog. Seperti ditulis oleh Dai Yong Jin, associate professor bidang komunikasi di
Universitas Simon Fraser, ekspor produk program televisi tersebut naik sekitar
27.4 kali antara 1995 hingga 2007, dengan nilai USD 5.5 juta tahun 1995 menjadi
USD 150.9 juta tahun 2007.* (Riad Mustafa)
Dimuat di Smartcity Magazine, Edisi 5, Agustus 2015 (halaman 15)