Smartcitymakassar.com. --Makassar-. Salah satu cara sebuah kota tetap memiliki pertautan dengan masa lalu serta peneguhan terhadap masa depan adalah keberadaan museum. Bagi sebuah kota, museum adalah ‘wajah’ yang bisa menceritakan bagaimana kota tersebut bergerak dalam dinamikanya. Museum juga merupakan ‘jejak’ yang merangkum kota dalam khazanah identitasnya.
Museum ini bernama La Galigo. Terletak di dalam areal Benteng Fort Rotterdam, Gedung 10, yang berhadapan langsung dengan garis panjang pantai Losari Makassar, museum ini bukan saja menyimpan jejak sejarah keberadaan kota Makassar, namun lebih dari itu, keberadaan museum ini pun merupakan bagian dari sejarah panjang tersebut. Berdiri sebagai museum pertama di Sulawesi Selatan pada tahun 1938, oleh Pemerintah Hindia Belanda menamakannya museum Celebes. Saat itu kota Makassar memang masih merupakan ibukota dari Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya).
Museum Celebes,
sebelum berganti nama menjadi museum La
Galigo, dahulu menempati gedung No.2
di Benteng Ujung Pandang (Fort
Rotterdam). Gedung ini dahulu
menjadi tempat kediaman Laksamana Cornelis Speelman. Menjelang pendudukan
Jepang di Kota Makassar, Museum Celebes telah menempati 3 areal gedung yakni Gedung No.2, Gedung No.5
dan Gedung No.8. Koleksi yang tersimpan di museum saat itu demikian komplit dan
sangat beragam. Pada saat pendudukan Jepang, kegiatan museum praktis berhenti
dan baru kembali berdenyut pada tahun 1966. Namun pada di tahun 1970, museum
ini baru benar-benar resmi berdiri kembali dengan nama baru, Museum La Galigo dengan surat keputusan
Gubernur Sulawesi Selatan pada saat itu.
Di lokasi lain, tepat di jantung pusat kota Makassar, Jalan
Balaikota, berdiri sebuah Museum Kota Makassar. Museum ini menempati sebuah gedung tua berlantai dua dan beraksitektur Eropa abad
ke 17. Dengan dinding tembok tebal, desain jendela kayu yang lebar serta
ornamen gantung yang khas, menjadikan
museum ini tampak demikian kokoh dan mencorong.
Atmosfir yang disodorkannya memang kadang terlihat ‘berwibawa’. Di depan
gedung, sebuah meriam perang yang diperkirakan telah berumur 300 tahun juga
kokoh berdiri. Ketika melangkahkan kaki memasuki museum ini, suasana Eropa abad
ke 17 memang demikian dominan. Menurut catatan,
di museum ini tersimpan beragam benda koleksi bersejarah kurang lebih
sebanyak 560 koleksi. Diresmikan pada saat Amiruddin Maula menjabat Walikota
Makassar, museum ini seperti sebuah ‘jejak’ yang makin lama, makin tak lagi
memiliki ‘greget’ yang membuat warga
Makassar terpanggil untuk sekedar menyapanya.
Keberadaan museum di Kota Makassar, memang ibarat sebuah
‘nyanyian sunyi’ di tengah gemerlap dan gegap gempita pembangunan. Warga kota
seakan demikian berjarak dengan keberadaannya. Fenomena ini memang telah
berlangsung lama. Munculnya pandangan bila museum hanyalah cerita sejarah yang
sama sekali tak berkaitan dengan kekinian, memang mendominasi alam pikiran
kita. Inilah yang menjadikan museum kehilangan daya pesonanya bagi warga kota.
Dengan demikian, museum hanya diperlakukan sebagai tempat para pelancong
berwisata atau sekedar pelajaran sejarah bagi anak-anak sekolah.
Padahal museum bukanlah hanya sekedar tempat dari
penyimpangan benda-benda bersejarah semata. Lebih jauh dari itu museum adalah
‘cara’ sebuah kota mengekspresikan dirinya. Museum adalah sebuah identitas kota
yang menapaki tahap-tahap perkembangan sejarah keberadaannya. Museum adalah ‘cermin’
sebuah kota sekaligus ‘cermin’ warga yang menjadi penghuninya.* (Makmur
Gazali)