MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Senin, 04 Januari 2016

Era Ekonomi Gelombang Keempat



Smartcitymakassar.com. --Makassar-

Bermula dari kegemaran dan gairah kreativitas, kerja yang banyak digerakkan oleh anak-anak muda ini terus bertumbuh semakin membesar. Dengan bekal kerja keras dan modal seadanya, mereka membangun bisnis berbasis imajinasi dan kreativitas yang di era sebelumnya belum banyak dikenal.

Gemuruh kekuatan ekonomi kreatif ini memang pantas mendapat decak kagum. Bagaimana tidak, banyak dari bisnis ini yang semula dikelola dengan spirit kekuatan passion semata, kini telah berkembang menjadi bisnis raksasa. Mulai dari bisnis pakaian, makanan, adibusana, konten digital, desain grafis, musik, hingga film. Kini orang-orang kemudian mengenalnya dengan kekuatan ekonomi gelombang keempat.

Tidak mengherankan bila kekuatan ekonomi gelombang keempat ini telah menjadi zona ekonomi primadona dunia. Bagaimana pun, era saat ini memang telah memasuki era di mana ekonomi berbasis pengetahuan telah menjadi pemicu bergeraknya sebuah negara atau kawasan. Inilah abad yang membutuhkan modal sumber daya manusia (SDM) yang kreatif dan bertalenta.

Menyadari potensi besar di sektor ekonomi kreatif ini, pemerintah sejak tahun 2008 lalu telah menyusun cetak biru pengembangan ekonomi kreatif. Pada tahun 2011, dari data yang tersedia menyebutkan bahwa industri kreatif ini telah mulai menyumbang tujuh persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini semakin membesar di tahun-tahun ke depan mengingat sektor ini semakin memiliki topangan pasar dunia yang sangat luas.

Dalam pendekatan teori ekonomi, setidaknya ada empat gelombang pembangunan ekonomi dunia. Gelombang pertama adalah pertanian, selanjutnya era industrialisasi, kemudian dilanjutkan dengan era ekonomi berbasis informasi dan pengetahuan, dan yang terakhir adalah era ekonomi kreatif. Pada prinsipnya, ekonomi kreatif adalah ekonomi yang menggunakan pengetahuan dan teknologi yang ada untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi.

Sampai saat ini, pemerintah membagi ekonomi kreatif dalam delapan sektor, yakni seni rupa, arsitektur, seni pertunjukan, media konten, desain, industri musik, fashion dan perfilman. Kemudian di dalam sektor tersebut berbagi lagi menjadi puluhan sub-sektor lagi, seperti kuliner, iklan, percetakan dan penerbitan, kerajinan dan lain-lain.

Pertumbuhan pesat ekonomi kreatif ini bagaimana pun harus ditunjang oleh dukungan penuh pemerintah, terutama pemerintah di daerah. Pada masa kerja Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Mari E. Pangestu, gugus kreatif di tingkat daerah telah mulai terbentuk dan berjalan. Gugus kreatif inilah yang kemudian meletakkan peta ekonomi kreatif di tiap daerah berdasarkan kekuatan yang dimiliki daerah masing-masing.

Hal yang menarik dari gerakan ekonomi kreatif ini adalah munculnya fenomena kelompok-kelompok komunitas yang saling berinteraksi dalam ide-ide kreatif. Di kota Makassar, komunitas-komunitas ini banyak ditemui di ruang-ruang publik atau di warung kopi (warkop) yang tertebaran di kota ini. Sebutlah salah satu diantaranya adalah komunitas Yayasan Makassar Sekalia, yang memayungi berbagai ragam komunitas di Makassar untuk bergerak kreatif membuat proyek pengerjaan kapal Pinisi sebagai media edukatif generasi muda.

Kerja pemerintah daerah untuk mendukung serta memberi ruang bagi atmosfir tumbuh kembangnya ekonomi kreatif menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Pemerintah kota (Pemkot) Makassar telah menyadari hal tersebut. Berbagai macam gelaran dan festival pernah dilakukan Pemkot Makassar untuk membuka ruang kreativitas dari ekonomi gelombang keempat ini. Festival Culinary Night, Eat and Run serta menjadikan Batik Lontara sebagai produk batik andalan Makassar merupakan contoh kecil.

Satu hal yang masih belum terpetakan dengan baik adalah kekuatan ekonomi kreatif dalam sub-sektor mana yang menjadi fokus kekuatan Makassar. Di samping itu, data dari Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Kota Makassar tentang pertumbuhan sektor ini juga belum tersedia. Padahal, data tersebut sangat penting karena dari sanalah pijakan pemerintah untuk bisa bergerak memberi ruang dukungan. Kota Bandung misalnya, kuat sub-sektor digital, arsitektur dan desain. Yogyakarta dan Bali dikenal sebagai sentra kerajinan seni dan budaya. Kota Malang banyak melahirkan animator, sedangkan Solo sangat giat mengembangkankan seni tari dan musik tradisional.

Sebagaimana peluang besar dibidang lain, gemuruh ekonomi kreatif ini juga menyimpan tantangan yang besar. Salah satu tantangan yang sangat krusial saat ini adalah infrastruktur teknologi informasi negara ini yang belum mampu bersaing dengan negara lain. Berdasarkan peringkat Digital Economy, Indonesia masih berada di posisi 65 dari 70 negara. Semua itu menjadi kendala karena dalam ekonomi kreatif, penggunaan teknologi informasi adalah bagian terpenting kerja ekonomi ini.

Hambatan yang lain adalah permodalan. Selama ini modal pengembangan ekonomi kreatif masih bersifat komersil murni atau lewat pribadi, sehingga pengembangannya sangat terbatas. Bahkan, dalam beberapa kasus, banyak dari pelaku ekonomi kreatif ini tidak mampu memperoleh pinjaman permodalan yang baik. Padahal ke depan, gerak perekonomian dunia semakin melaju ke zona ekonomi ini dan dinamika globalisasi sudah tidak lagi mengenal batas teritorial negara. Bila tak diantisipasi maka pelaku ekonomi kreatif daerah menjadi semakin terpinggirkan.

Dengan dukungan anak-anak muda yang kreatif dan bertalenta itu, juga kepedulian pemerintah daerah maka Indonesia sangat memiliki potensi besar untuk menjadi ‘raksasa’ di dunia ekonomi kreatif ini. Bagaimana tidak, negeri ini telah memiliki kekayaan budaya yang unggul dan beraneka-ragam. Di samping itu, tingkat konsumsi dalam negeri yang sangat tinggi serta yang paling berperan adalah jumlah kaum muda yang melimpah.* (Muhammad Yushar)