MENUJU PILPRES DAN PILEG 2019

Senin, 17 September 2018

Kota Tanpa Pengucapan

foto: ilustrasi  

smartcitymakassar.com - Makassar - Apakah sebuah kota bisa melepas masa lalunya? Atau setidaknya mampu memutus ‘tali pusar’ masa lalu yang pernah hadir menghidupinya? Bisakah sebuah kota menjadi demikian rigid, kaku dan tak berjiwa serta kehilangan relasi-relasi manusiawi?

Pertanyaan ini jadi perbicangan hangat di meja redaksi smartcitymakassar.com beberapa waktu yang lalu. 

Sebuah kota, dalam perspektif ilmu strukturalisme Peaget, bagaimana pun adalah sebuah ‘bangunan’ yang dihidupi dalam percampuran berbagai macam anasir-anasir. Daya survive sebuah kota kemudian ditentukan oleh kemanpuan kota tersebut beradaptasi dan terus menerus memperbaharui dirinya. 

Percampuran atau lebih tepat disebut peleburan berbagai anasir yang diadopsi dari berbagai unsur, baik lokal domestik maupun unsur luar, akan menjadikan kota tersebut mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat penghuninya. Ini adalah sebuah dealektika. Saling memberi, saling membentuk, saling menerima antara kota dan warganya. 

Lalu apakah sebuah kota bisa melepas masa lalunya? Dan bagaimana wujud kota itu setelah memutus semua sel-sel masa lalunya? Jawabannya; bisa dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Kota semacam Jakarta adalah sebuah contoh bagaimana kota tersebut secara tidak sadar mulai ‘mengubur’ masa lalunya dan membangunnya di atas puing-puing rasa kehilangan yang panjang. 

Kota seperti di Jakarta, di satu sisi, segalanya mewujud dalam bangunan mewah, jangkung menjulang dan mentereng, namun jiwa kota ini telah lama mati bersamaan dengan hilangnya masa lalu dalam setiap pengucapannya. Di sisi lain, deretan pemukiman kumuh, bertumpuk bagai kardus bekas dengan kemiskinan yang nyaris memilukan.

Ada sebuah novel bagus ditulis sastrawan besar Prancis, Albert Camus, berjudul “Sampar”, yang bisa menceritakan bagaimana sebuah kota telah kehilangan pengucapan dan jiwa. Dalam novel tersebut, Camus mengisahkan dengan nada liris, orang-orang di kota yang disebut Oran tersebut beraktifitas, bekerja, berlibur dan bercinta dengan gaya rutinitas yang demikian datar tanpa gejolak. 

Kebosanan yang demikian pekat itu kemudian tumbuh menjadi sebuah rasa mual yang absurd. Ketidakpedulian mekar menjadi sikap egoistis. Tak ada kerekatan jiwa di sana selain pola relasi yang sangat fungsional. Orang-orang berhubungan satu dengan yang lain benar-benar hanya dilandasi sebuah kepentingan. Kepentingan ekonomi yang mendominasi di sana. Selain itu tak ada yang peduli. Hidup menjadi demikian terasa horor.

Bagaimana dengan kota Makassar?  (Makmur Gazali)